MEMAKNAI SESUATU YANG KELAK RETAK
(mitos: cinta, perempuan, dan seterusnya)
Oleh Baban Banita

/1/
Goenawan Mohamad yang untuk pertama dan terakhir kalinya menginjak usia 70 tahun sesungguhnya puisi-puisinya telah sampai pada gagang gurun, balsam hutan, pucuk karang, malam yang gothis, sajadah yang jauh, tembikar kulitmu, basah pucuk andilau, sehektar mistar,dan pada menit membiru. Sesuatu atau sebuah tempat yang luber dengan keindahan, yang sangat penuh dengan kemerduan, begitu penuh kenikmatan namun begitu sulit dicerna. Barangkali pembaca akan sedikit limbung, sedikit mabuk karena rasa nikmat yang sekaligus rumit itu. Akan tetapi, sebagai semacam menghibur diri, saya turuti saja ucapan yang pernah dikatakan Sapardi Djoko Damono, bahwa jika dalam membaca sajak kita telah diberi kenikmatan maka biarlah saja jika pun kita takmengerti isi sajak itu. Kurang lebih Sapardi mengingatkan bahwa pada sajak yang paling penting adalah nadanya atau bunyi yang menyarannya yang menyelinap ke dalam diri kita.
Ada banyak kesulitan untuk membahas sajak-sajak Goenawan Mohamad. Di antaranya, karena sajak-sajak itu sering dibahas oleh banyak orang yang ahli di bidangnya dan kesulitan berikutnya karena sajak-sajak itu memang sulit untuk dibahas. Akan tetapi, beruntunglah sajak-sajak itu sangat kaya sehingga walau telah banyak dianalisis selalu saja menyisakan peluang lain untuk menjadi bahan perbincangan. Selain itu, bagi saya membaca sajak Goenawan selalu saja menerbitkan hasrat untuk menulis sajak, meski sajak yang saya ciptakan begitu-begitu saja dan sungguh jauh kualitasnya dari sajaknya. Hal ini, setidaknya bagi saya, sebagai pembuktian bahwa sajak yang baik adalah sajak yang ketika dibaca menerbitkan kehendak untuk berproses kreatif. Dan bagi saya tidak banyak sajak yang mempunyai kekuatan seperti demikian. Pertanyaannya adalah mengapa sajak Goenawan itu demikian memancing hasrat. Adakah ia memang begitu penuh aroma adas?

/2/
Sajak pertama yang muncul dalam antologi Tujuh Puluh Puisi juga pada Sajak-Sajak Lengkap 1961—2001 adalah “Di Muka Jendela”. Sajak ini bagi saya merupakan pembuka yang akan menggambarkan sajak-sajak karya Goenawan berikutnya. Dalam sajak ini membayang suasana yang syahdu nyaris perih, kesendirian, ketertekanan, dan begitu penuh pengharapan.
Di Muka Jendela

Di sini
cemara pun gugur daun. Dan kembali
ombak-ombak hancur terbantun.
Di sini
kemarau pun menghembus bumi
menghembus pasir, dingin dan malam hari
ketika kedamaian pun datang memanggil
ketika angin terputus-putus di hatimu menggigil
dan sebuah kata merekah
diucapkan ke ruang yang jauh: -Datanglah!

Ada sepasang bukit, meruncing merah
dari tanah padang-padang yang tengadah
tanah padang-padang tekukur
di mana tangan-hatimu terulur. Pula
ada menggasing kincir yang sunyi
ketika senja mengerdip, dan di ujung benua
mencecah pelangi:
Tidakkah siapa pun lahir kembali di detik begini
ketika bangkit bumi,
sajak bisu abadi,
dalam kristal kata
dalam pesona?

(1961)

Bait pertama dari “Di Muka Jendela” di atas sangat merdu bunyinya, sebuah harmoni yang mencipta suasana murung. Keadaan ini sebagai efek dari penggunaan dan pengelolaan kata yang dihimpun menjadi frase-frase yang kuat dalam rangka menggambarkan ruang dan waktu dalam dunianya yang baru itu. Baris cemara pun gugur daun membayang pada sebuah kematian, pada sebuah ketakberdayaan. Lantas suasana ketidakberdayaan itu diperkuat dengan baris ombak-ombak hancur terbantun. Suatu keinginan untuk terus-menerus mengada dalam aktivitas hidup harus berhenti karena barangkali oleh sesuatu yang semestinya dan tidak cukup kuat untuk dilawan; daun cemara harus gugur pada saatnya juga ombak harus pecah pada batas waktu. Keadaan itu lantas memunculkan kedamaian, seolah sebuah keiklasan, keberterimaan pada sesuatu yang semestinya ada itu. Akan tetapi, kedamaian itu tampaknya muncul berbarengan dengan segala pergulatan rasa yang berat dan penuh degup. Hal ini digambarkan dengan baris ketika angin terputus-putus di hatimu menggigil. Sebuah penggambaran yang menggunakan susunan kata begitu penuh kejutan dan selalu kuat juga tetap merdu rasanya. Lantas pembayangan muram itu semakin kuat dan menemukan bentuknya manakala hadir suasana kemarau dan dingin malam hari.

-Datanglah! Kalimat seru inilah yang kemudian muncul di akhir bait pertama sajak di atas. Sebuah perintah, sebuah harapan. Tentulah kata ini tidak lantang diucapkan dengan suara keras atau menggelegar, tetapi mungkin pelan dan nyaris takbersuara, mungkin berupa desah yang sangat rendah nadanya. Akan tetapi, seruan ini sangat kuat karena muncul dari dinding-dinding kerinduan, dari hamparan kesakitan, dan dari ruang yang penuh harapan. Mungkin seperti suara seseorang yang penuh semadi, seperti kata yang diucapkan pertapa, seperti doa dari basah goa, kata-kata itu muncul dan menancap kuat dan nyaris takterbantah.

Bait kedua adalah gambaran lain tentang sebuah situasi yang ada di luar jendela. Gambaran itu menguatkan situasi ketidaknyamanan seperti juga yang termaktub dalam bait pertama. Dengan kata lain, bait kedua itu merupakan sebuah lanskap yang indah, yang dipenuhi kesunyian. Dalam satu potret itu ada sepasang bukit yang merah, ada hamparan padang yang tengadah, lalu kincir yang terus berputar dalam senja, dan pelangi yang jauh di ujung tempat lain. Penggambaran ini merupakan sebuah keselarasan dan sekaligus sebuah pertentangan. Ada gambaran kemarau yang dekat di tempat yang terpijak, lantas; sebuah metafor untuk kehidupan yang penuh dengan ketertekanan, ketidaknyamanan. Sedangkan kenyamanan dimetaforkan dengan ada pelangi di tempat lain, di tempat yang jauh meski hanya sedikit. Sebuah pertentangan yang berfungsi untuk mengentalkan situasi murung dan ketiadaan atau kehampaan di sekitarnya. Kemudian dari situasi ini muncul pernyataan atau pertanyaan tentang kegamangan-kegamangan dalam menjalani kehidupan dalam berkreativitas.
Bagi saya sajak “Di Muka Jendela” adalah gambaran tentang proses suatu sajak yang akan ditulis kemudian. Sajak-sajak yang ditulis kemudian itu berasal dari kegelisahan, kesunyian, kerinduan seseorang yang berada dalam situasi keterbatasan atas keberadaan lingkungannya yang serba menggiriskan sementara jauh di sana tampak keindahan. Sajak-sajak itu lahir dari harapan yang berlatarkan rasa kecewa.

/3/
Sajak Goenawan yang pertama kali saya sukai adalah “Asmaradana”. Sajak ini bertitimangsa tahun 1971 dan saya membacanya sekitar tahun 1992 ketika buku antologi Asmaradana muncul. Saya menikmatinya meski belum paham betul makna yang terkandung di dalamnya, tetapi saya tahu bahwa itu adalah sebuah kisah cinta yang melarat-larat yang dialami oleh Anjasmara. Beberapa sajak Goenawan berikutnya saya bacai dan saya menemukan beberapa diantaranya yang memakai latar penciptaan mitos , seperti “Asmaradana”. Yang menarik dari sajak-sajak tersebut adalah cara penyair memperlakukan mitos itu. Misalnya, mitos itu tidak diambil peristiwa besarnya, tetapi lebih mengambil peristiwa pinggirannya. Mitos itu kadang tidak sesuai dengan pakemnya, mitos mengalami penjungkirbalikan atau dipertentangkan. Akan tetapi, meski demikian sajak itu tetap sebagai bagian yang takbisa dipisahkan dari mitos. Dalam arti bahwa untuk lebih mendalami pemaknaan, mitos itu sangat diperlukan sebagai referensi bagi pemaknaan kontekstual.

Mitos sudah sejak lama dijadikan sumber penciptaan pengarang. Casirrer (1987: 113-114), misalnya, menyebutkan bahwa mitos purba merupakan cikal bakal atau sumber perkembangan sajak modern. Dia memberikan istilah mitofoik untuk sajak-sajak yang bersumber dari mitos atau cerita-cerita lain. Lebih lanjut Casirerr menyebutkan bahwa mitos menyatukan unsur teoritis dan unsur penciptaan artistik. Yang terutama mencolok adalah kaitan antara mitos dengan puisi. Mitos purba menurutnya adalah bahan bagi tumbuhnya puisi modern yang berkembang lambat laun dalam proses yang oleh para evolusioner disebut sebagai diferensiasi dan spesialisasi.

Dalam peta kepenyairan Indonesia pun hal ini menjadi fenomena yang cukup kuat dan Goenawan Mohamad adalah satu di antaranya. Mitos oleh Goenawan dibentuk kembali ke dalam sajak dengan beberapa perbedaan bahkan sangat bertentangan dengan cerita pakemnya. Ada yang dijungkirbalikkan, teks-teks latar atau rujukan ditentang dan dilawan dalam bentuk dan isi yang baru. Akan tetapi, meski dilawan dan dijungkirbalikan, karyanya tidak bisa sepenuhnya lepas dari teks sumber atau hipogramnya, bahkan bisa dikatakan karya itu lebih bermakna apabila dalam pemaknaan disertakan teks-teks sumber yang dijadikan rujukan dalam sajak itu.

Sajak yang bersumber dari mitos ini kemudian menjadi tema sajak yang cukup beragam, misalnya menyoal politik, agama, ekonomi, kekuasaan, cinta, perempuan, Tuhan, ibu, dan kekerasan. Tema-tema itu hadir terutama dengan ditandai oleh kemunculan beberapa tokoh yang hidup dalam mitos. Keberagaman tema ini, saya pikir tidak terlepas dari ketertarikan penyair dan penguasaannya terhadap berbagai persoalan yang ada juga penguasaannya terhadap pelbagai pengetahuan baik yang berupa fiksi maupun non-fiksi.

Tentang penggunaan tokoh-tokoh dalam mitos atau peristiwa fiksional dalam karya Goenawan, Baasyaid (2005: xiii-xx) menyebutkan bahwa tokoh-tokoh itu diperlakukan sebagai simbol atau kacamata untuk mengamati atau mengidentifikasi manusia faktual, adapun peristiwa fiksional disajikan sebagai contoh kasus dalam mengkaji peristiwa nyata. Hal ini biasanya dipakai ketika Goenawan menulis esai, sedangan untuk menulis fiksi, peristiwa atau tokoh fiksional itu dihadirkan atau ditafsirkan dengan hakikat yang hampir berbeda dengan peristiwa asli (pakem) dalam fiksi itu. Dalam kasus wayang (Baasyid, 2005: xx), misalnya, Goenawan berbeda dengan dalang ketika membuat tafsiran, dia mempunyai tafsir yang melangkah beberapa tapak ke depan atau ke samping. Goenawan bukan saja memodifikasi pakem yang disakralkan tapi juga mencoba menduniakannya/ menguniversalkannya. Begitupun ketika menggunakan mitos-mitos lain, unsur cerita itu diubah atau ditafsirkan kembali dalam karya yang membuat pembaca berpikir ulang tentang peristiwa-peristiwa yang pernah ada dalam mitos yang telah kadung menjejak dan diketahui secara umum sebagai sesuatu yang konvensional.

Pendapat Baasyid di atas sangat menarik, apalagi jika membaca pikiran Goenawan yang ditulis dalam esainya “Potret Penyair Muda sebagai Si Malin Kundang”, Goenawan menyandingkan pengalamannya ketika membaca Mahabharata dan Ramayana dengan puisi Chairil Anwar. Menurutnya, wayang pada dasarnya tidak menawarkan nilai-nilai ajaran agama Islam, tetapi seperti halnya puisi Chairil Anwar, wayang telah memberi suatu “dunia penghayatan yang tidak berbentuk”, yang justru sangat terbuka untuk dibentuknya sendiri. Karena itu, tokoh perempuan dalam cerita wayang, misalnya, telah dijungkirbalikkan, telah didekonstruksi, meski dalam batas-batas tertentu antara sajak dengan pakem tersebut tetap terjalin kesejajaran. Ini berarti bahwa mitos sebagai sumber utama penciptaan tidak semata-mata sumber yang harus diucapkan kembali sesuai dengan kenyataan awal, tetapi bisa diubah sesuai dengan tafsiran yang dikehendaki pengarangnya, meskipun hal tersebut merupakan peristiwa yang berlaku umum dan jadi konvensi. Dalam hal ini, pengarang berproses kreatif menurut sudut pandangnya sendiri, yang tidak memercayai apakah objek itu nyata atau tidak ada, demi terciptanya dunia yang baru sesuai dengan realitas sastrawi yang dikehendakinya.

Pendapat Goenawan tadi memicu pertanyaan yang kuat, seperti apa sesuatu yang sangat terbuka itu hingga bisa dibentuk dalam dunia yang tersendiri. Hal ini, tampaknya sejajar dengan konsekuensi dari otonomi semantik bagi penafsiran teks, yakni bahwa interpretasi teks tidak bersifat reproduktif, melainkan bersifat produktif melalui pembauran cakrawala ketika pembaca atau pendengar memahami dan meresapkan arti sebuah teks .

Fenomena mitos yang digunakan Goenawan dalam sajaknya cukup banyak. Hal ini menjadi daya tarik tersendiri karena selain ditafsirkan berbeda dari pakem, juga pilihan-pilihan atas peristiwa dalam mitos itu juga didukung kekuatan estetiknya sangat kuat. Metafor-metafornya yang orisinal sangat khas dan selalu hampir penuh kejutan, mengandung musikalitas yang rata-rata merdu, dan kuat dalam membangun suasana dalam mengemban gagasan tema. Sajak-sajak yang bersumber dari mitos itu di antaranya adalah “Pariksit”, “Dongeng Sebelum Tidur”, “Asmaradana”, “Gatoloco”, “Menjelang Pembakaran Sita”, “Persetubuhan Kunti”, “Penangkapan Sukra”, “Sang Minotaur”, dan “Oedipus”.

/4/
Berikut adalah sajak “Menjelang Pembakaran Sita” hasil transformasi Goenawan atas teks mitos atau cerita wayang Mahabharata. Saya memilih sajak ini sebagai jalan untuk melihat sajak lain yang mempunyai beberapa kesamaan dengan “Menjelang Pembakaran Sita”.

MENJELANG PEMBAKARAN SITA
untuk tarian Restu

Lewat baluwarti
ia bisa bersabar seperti kelopak kembang kertas yang jatuh
ke kolam.

Air memancar. Akar menjalar di dinding usia. Tak bertanggal.

Fontein itu berbicara sebenarnya, lalu
berhenti. Ia tahu
esok ia akan mati.

Malamnya laki-laki itu, Rama, berbicara,
“Telah kuciumi tubuhmu yang setia
dan tak suci lagi.”

Perempuan itu pun memandang ke luar jendela: gerbang,
tanah yang terhantar, huma, pohon-pohon damar, kilat yang
mencambukkan pijar.

Memang pernah ada laki-laki -ia tak tahu lagi siapa- yang
telah ia sentuh dalam takjub, yang berbisik,”Kubacakan
sajakku, kujelajahi peta putih seluruh tubuhmu.”

Dan ia seperti hilang dari sana, hanya tinggal suara:
“Beri aku mantera”

Tirai terlepas, ia ingat semua itu:

Kau lekapkan lidahmu
ke lingkar leherku

kau sapu-sapu
pucuk putingku

Dan aku bertanya,
“Bisakah kita terbebas

dari balur
dan luka?”

Ah farji
yang mengucup dan memeriahkan
berahi

zakar
yang melingkar-lingkar dalam basah
dan geletar

“Beri aku jawab.”

Tapi kaukulum susuku,
dan kaurumrum rusukku

Dan aku memagutmu!

Ketika dinihari, ia ingin berkata.”Jangan pandangi aku. Aku tak
tahu aku siapa.”

“Tapi aku mencintaimu: jangan kau mati
dalam ritus ketidakmengertianku.”

Saat itu ranjang renggang. Sprei menghening:
seakan sebuah savanah yang terbentang antara mereka dan
mulut kering.

Dan napas timpas.

Besok semuanya selesai (ia berkata sambil mengusap
rambutnya). Ia akan pergi ke dalam beribu latu, ke rumpun api.
Ia akan menyelinap.

Di antara ruap rawa dan miasma barangkali akan ada sebuah
ruang luang dimana tak ada lagi kitab tak ada kata dan kita
tetap tak mengerti apakah yang tak suci apakah yang setia.

(1994)

Sajak di atas menceritakan proses perjalanan hukuman yang akan diterima oleh Sita dari Rama. Persoalan yang diangkat atau penyebab hukuman tersebut adalah anggapan Rama bahwa Sita yang setia itu tidak suci lagi atau telah dinodai oleh laki-laki lain. Sajak ini juga menggambarkan bagaimana Sita yang bercinta dengan laki-laki lain yang tidak sepenuhnya disadari dan dimengerti oleh dirinya. Jadi, sajak ini tampaknya sedang berbicara tentang posisi perempuan dalam hubungannya dengan laki-laki.

Peristiwa bagian awal sajak menceritakan situasi kesabaran ia (Sita) yang sedang menerima kemarahan (hukuman) dari laki-laki yang bernama Rama. Digambarkan kesabarannya dengan metafor seperti kelopak kembang kertas yang jatuh ke kolam. Peristiwa awal ini juga merupakan ancang-ancang bahwa Sita besok akan mati masuk ke dalam unggunan api.

Peristiwa berikutnya adalah ketika Sita didatangi oleh Rama yang pada malam itu berbicara bahwa Sita yang setia dan telah diciumi tubuhnya itu tidak suci lagi. Hal ini membuat hubungan diantara keduanya menjadi renggang. Perempuan itu diam dan hanya memandang ke luar jendela, melamun, mengingat-ingat peristiwa yang dirasakannya telah terjadi pada dirinya. Dalam lamunannya, Sita merasakan pernah bercinta dengan laki-laki lain yang juga terasa dicintainya. Sita tidak pernah merasa sadar sepenuhnya apa yang terjadi pada dirinya dengan lelaki itu, yang ia rasakan adalah lelaki itu menciumi sekujur tubuhnya dan bersetubuh dalam kenikmatan. Dan seusai lamunan itu, pada dini hari ia ingin berkata kepada Rama, bahwa ia tidak tahu siapa dirinya itu. Saat itu semuanya menjadi kian renggang, hati Rama dan Sita berada dalam jarak yang jauh padahal mereka berada dalam satu ranjang.

Peristiwa bagian akhir sajak menceritakan bahwa besok semua persoalan itu akan selesai sebab Sita akan mati masuk ke dalam rumpun api sebagai hukuman dari Rama. Selain itu, pada bagian akhir ini disebutkan tentang ketidakmengertian tentang sesuatu yang tak suci itu dan tentang yang setia itu.
Sikap penyair dalam mengekspresikan perasaannya dalam sajak ini bersikap lembut meskipun sedang membicarakan sesuatu hal yang berat dan sangat emosional. Penyair tampak bersimpati kepada Sita meski secara moral Sita barangkali bersalah dan berdosa, bahkan ada semacam pembelaan atas perbuatan yang dilakukan Sita dengan memberi karakter sabar pada perempuan itu. Dalam hal ini juga posisi perempuan berada pada pihak yang lemah dan takberdaya. Sita juga pada perempuan-perempuan lain (Anjasmara dalam “Asmaradana”, Kunthi dalam “Persetubuhan Kunthi”, permaisuri dalam “Dongeng Sebelum Tidur”, perempuan dalam “Perempuan yang Dirajam Menjelang Malam”, perempuan dalam “Sang Minotaur”, dsb.) berada dalam ketidakberdayaan dan sepenuhnya berada dalam kekuasaan laki-laki. Para perempuan itu hanya menjadi objek pemuas kebutuhan seksual meski perempuan itupun menikmati persetubuhan tersebut. Kunthi menikmati persetubuhannya dengan seorang lelaki tapi kemudian dirinya ditinggalkan begitu saja tanpa tahu siapa dan ke mana laki-laki tersebut pergi. Hal ini, sama dengan perempuan yang ada dalam “Sang Minotaur”, bahkan lebih parah lagi perempuan itu harus menerima maut setelah dirinya bersetubuh dengan seseorang yang datang menikmati tubuhnya. Dan hukuman atas kenikmatan persetubuhan harus ditanggung pula oleh perempuan. Peristiwa ini terjadi dalam “Perempuan yang Dirajam Menjelang Malam”. Karena menikmati persetubuhan yang bukan semestinya perempuan itu harus menerima hukuman rajam yaitu dilempari batu sampai mati. Sementara laki-laki kekasihnya itu takseperti dirinya, mungkin bebas dari siksa batu-batu itu atau menerima kesakitan yang lain atau hanya sampai sebatas rasa kasihan.

Untuk hubungan suami istri yang formal pun, si perempuan berada dalam posisi lemah. Selain dalam “Menjelang Pembakaran Sita”, terjadi pula dalam kisah “Asmaradana” dan “Dongeng Sebelum Tidur” . Anjasmara harus menerima kesakitan karena suaminya Damarwulan akan berangkat berperang melawan musuhnya. Yang paling menyakitkan bagi dirinya adalah jika suaminya kalah maka untuk selamanya dia akan berpisah, sedangkan jika menang dia harus merelakan suaminya menjadi suami bagi perempuan lain. Keduanya tentu saja bukan pilihan yang menyenangkan, tetapi Anjasmara takberdaya untuk membuat jalan lain semisal mencegah suaminya untuk membatalkan niatnya. Dia harus menerima segalanya seperti penghiburan yang diucapkan suaminya pada dirinya, //Anjasmara, adikku, tinggalah, seperti dulu. Bulan pun lamban// dalam angin, abai dalam waktu/ Lewat remang dan kunang-// kunang, kaulupakan wajahku, kulupakan wajahmu.//.

Dalam “Dongeng Sebelum Tidur”, perempuan yang berkedudukan sebagai permaisuri raja itu harus memilih mati karena tidak mendapat hal yang diinginkannya dari suaminya. Sementara suaminya mempunyai alasan kuat untuk tidak ikut mati bersama istrinya. Bahkan suaminya mempertanyakan (melecehkan) kesetiaan yang harus ditebus dengan kematian. Bisa dikatakan dalam peristiwa ini perempuan sebenarnya mempunyai sikap yang jelas dan kuat ketika harus memilih, namun tetap saja dirinya lemah di hadapan suaminya dan tidak sanggup memaksa atau mendapatkan keinginnya itu.

Penggambarkan hubungan laki-laki dan perempuan dalam sajak-sajak di atas nyaris semuanya berbau seksual, kecuali dalam “Asmaradana”. Akan tetapi, dalam sajak ini pun setidaknya mengambil latar di tempat tidur yang bagi kebanyakan orang selain untuk tidur juga untuk meniduri dan ditiduri. Seksualitas yang diungkapkan penyair menggunakan kata atau rangkaian kata yang kuat membawa imajinasi ke arah dan bentuk persetubuhan, bahkan tampak juga ada beberapa kecenderungan vulgar. Kalimat-kalimat yang berhubungan dengan aktivitas seksual itu membayang pada persetubuhan yang lembut dan penuh cinta dengan disertai berahi yang kuat juga kenikmatan yang sangat seperti pada kalimat //Sampai badai dan gempa seperti menmpuhmu// dan kau teriakkan// jerit yang merdu itu// sesaat sebelum kulit langit// kembali, jadi biru//. Selain itu, persetubuhan digambarkan begitu penuh berahi dan nafsu yang kuat dan agak kasar. Kalimat-kalimatnya tampak vulgar dan sengit bau seksualnya seperti tampak dalam “Sang Minotaur” pada kalimat //Dan yang mengguncang kelambu// membujukmu: kau goyangkan susumu// ke arah seram dan seluruh bau asam,// tatkala hasrat menjulurkan lidah//yang merah// ke syahwat// yang membasah.//. Ada juga yang lebih vulgar yang tampak dalam “Menjelang Pembakaran Sita” pada kalimat //Ah farji// yang mengucup dan memeriahkan// berahi// zakar// yang melingkar-lingkar dalam basah// dan geletar//.

Penggambaran-penggambaran di atas sangat sesuai dengan situasi peristiwa yang melatarinya juga pada kontekstualnya. Pada kisah Kunthi persetubuhan itu cenderung lembut dan tenang karena yang bersetubuh adalah dewa yang agung juga Kunthi yang sebenarnya taktahu menahu tentang hubungan seksual lagi pula peristiwa seksual itu bukan kemauan yang datang dari berahi, tetapi muncul sebagai akibat karena Kunthi penasaran terhadap mantera yang diberikan kepadanya, sedangkan pada kisah kedua dan ketiga persetubuhan cenderung kasar dan vulgar karena yang bercinta dilatarbelakangi oleh kerinduan pada syahwat yang kuat. Yang pertama Sita didatangi oleh Rahwana yang sangat berhasrat terhadap kemolekan dan kecantikan Sita. Yang kedua perempuan itu didatangi oleh Minotaur, mahluk buas setengah binatang yang nafsunya sangat besar dan juga kasar.

Kembali ke sajak “Menjelang Pembakaran Sita”, pada bagian peristiwa awal pemilihan kata untuk mengungkapkan kesabaran digunakan bunyi-bunyi merdu. Pada baris pertama terdapat kata lewat baluwarti yang mempunyai bunyi lemah tapi merdu, selanjutnya ada kata kelopak, kembang kertas, dan kolam yang semuanya ikut memperkuat kemerduan dan membangun suasana kesabaran. Namun suasana sabar itu sebenarnya diikuti pula dengan suasana getir, yakni sebuah kematian yang pasti akan tiba pada Sita (ia), seperti terlihat pada baris esok ia akan mati. Jadi, kesabaran yang tergambar pada riap gelombang di kolam ketika dijatuhi kembang kertas adalah gambaran kesabaran namun juga menyimpan kekuatan yang jika lebih ditekan lagi akan membuncah, menjadi gelombang yang lebih besar. Semuanya berjalan seperti akar menjalar namun sebenarnya hilang dari control diri sehingga tidak mengetahui kapan peristiwa terjadi, semuanya menjadi Tak bertanggal.

Peristiwa di atas berjalinan dengan peristiwa berikutnya, yaitu kedatangan Rama di malam hari yang mempertegas peristiwa atau suasana awal harus terjadi. Hampir sama dengan kisah Sita, Kunthi dan perempuan itu pun didatangi laki-laki. Kedatangan laki-laki itu menunjukkan bahwa laki-lakilah yang aktif dalam rangka mengungkapkan kehendaknya dan perempuan hanyalah menunggu bahkan setelah itu perempuan ditinggalkan untuk menerima nasibnya sendiri.
Laki-laki yang bernama Rama menuduh Sita sebagai perempuan yang tidak suci lagi. Alasan itulah atau tuduhan itulah yang akan memberangkatkan Sita pada kegamangan dan kematian sebagaimana terlihat pada peristiwa awal. Susunan kata atau pilihan kata dalam peristiwa ini dibangun untuk memenuhi suasana tegang antara Rama dan Sita. Dalam hal ini Rama berbicara //telah kuciumi tubuhmu yang setia//dan tak suci lagi//. Susunan ini membawa kepada suasana tegang. Tubuh Sita yang selalu diciuminya itu adalah tubuh yang selalu ada dan setia untuk memenuhi hasrat Rama, tetapi tubuh itu tidak suci lagi karena telah ada tubuh lain yang juga ikut merasakan kenikmatannya. Rasa tegang atau sakit hati sebagi akibat tuduhan atau kata-kata tersebut membuat Sita diam dan pikirannya mengembara pada sebuah peristiwa ketika dirinya pernah disetubuhi oleh laki-laki lain yang dia sendiri tidak tahu laki-laki itu. Penggambaran proses bersetubuh antara Sita dengan laki-laki yang tak dikenalnya disusun dalam tatanan yang harmonis dengan pilihan kata yang menimbulkan efek bunyi dan suasana penuh gairah. Di sini sajak menggunakan kata-kata yang vulgar seperti //kau sapu-sapu//pucuk putingku//, ah farji//yang mengucup dan memeriahkan// berahi//zakar//yang melingkar-lingkar dalam basah//dan geletar/. Kevulgaran itu memberi kesan kuat atau suasana kuat pada persetubuhan yang penuh nafsu berahi antara Sita dan laki-laki yang tak dikenalnya. Suasana persetubuhan yang liar dan penuh nafsu itu diperkuat dengan teriakan atau kata-kata yang mengisyaratkan kecemasan dan ketakutan, //bisakah kita terbebas//dari balur//dan luka?//. Kata-kata itu keluar dari Sita ketika proses persetubuhan sedang terjadi, dan masih dalam proses menuju ke persetubuhan Sita kembali berkata, //beri aku jawab//. Jawaban itu tidak pernah ada, dan pada sajak ini digambarkan dengan //tapi kaukulum susuku//dan kaurumrum rusukku//. Kemudian Sita pun membalas berahi itu dengan mencium laki-laki yang tidak dikenalnya itu, //dan aku memagutmu//. Kata-kata yang dipilih dan susunannya menimbulkan bunyi-bunyi yang pas dengan situasi atau suasana nafsu yang sedang berlangsung antara Sita dan laki-laki tak dikenalnya itu.

Peristiwa percintaan itu merupakan flashback yang ada dalam angan-angan Sita, dalam kenyataannya dia sedang berdua dengan Rama yang terus memperhatikannya. Sita merasa gamang atau merasa bersalah tentang yang telah dilakukannya itu terutama ketika Rama terus menatapnya. Hal ini digambarkan dengan //jangan pandangi aku. Aku tak tahu aku siapa//. Selanjutnya kegamangan atau rasa bersalah Sita yang diungkapkan dengan kata-kata tadi dibalas oleh Rama dengan sikap yang tidak mengerti atas apa yang dilakukan Sita. Rama tidak tahu apa yang berkecamuk dalam angan-angan Sita, dia tetap mencintai tapi tidak rela jika Sita mati sementara dirinya tidak tahu atas perbuatan Sita yang telah ternoda. Kegelisahan Rama diungkapkan dengan menggunakan susunan kata yang berbunyi merdu dan suasana miris, //tapi aku mencintaimu: jangan kau mati// dalam ritus ketidakmengertianku.”//. Kemudian suasana tegang antara Rama dan Sita diperkuat dengan narasi yang semakin senyap yang mendinginkan atau merenggangkan hubungan kedua orang itu. Pilihan atau susunan kata yang dipakai menimbulkan bunyi yang berubah-ubah kemerduannya. Efek bunyi ini semakin memperkuat kelabilan emosional dua orang tersebut, meski pada akhirnya diakhiri dengan susunan kata yang bunyinya lemah namun merdu dengan suasana sendu, //dan napas timpas//.

Peristiwa akhir yang berisi kepastian akan datangnya kematian yaitu besok pagi, susunan atau kata yang digunakan menimbulkan suasana lenggang, dengan bunyi-bunyi musikalitas merdu yang sendu. Hal ini terlihat dalam kata-kata beribu latu, rumpun api, menyelinap, ruap rawa dan miasma, ruang luang. Semuanya saling berpadu membangun suasana syahdu namun juga sendu itu. Takberbeda jauh dengan sajak-sajak lain, kisah cinta itu berakhir pada kematian. Sang permaisuri dalam “Dongeng Sebelum Tidur” memilih bunuh diri, perempuan dalam “Sang Minotaur” juga harus mati, sementara Kunthi meski tidak mati, tetapi tetap harus sendiri menerima segala risiko atas yang telah dilakukannya, perempuan dalam “ Perempuan yang Dirajam Menjelang Malam” jelas hidupnya berakhir lebih menggenaskan. Nasib para perempuan ini sungguh tragis, bahkan ketragisan yang menimpa perempuan itu bukan saja yang berhubungan dengan cinta berahi, tetapi pula dengan hal yang lainnya. Misalnya pada “Perempuan itu Menggerus Garam”, perempuan itu menderita karena harus kehilangan enam anaknya, pada “Zagreb” nasib perempuan itu pun sungguh tragis, dia kehilangan anaknya dan menemukan kepalanya yang terpenggal lalu dibawanya pergi ke mana-mana, dan pada “Sajak buat Arti” perempuan itu harus merelakan anaknya yang pergi jauh ntah ke mana.

Sajak “Menjelang Pembakaran Sita” menimbulkan pertanyaan, mengapa Goenawan membuat transformasi sajak dari kisah Ramayana ini dijungkirbalikan. Maksud saya, mengapa Sita dibuat menjadi seorang perempuan yang tidak setia. Betul bahwa cerita wayang atau mitos sangat terbuka untuk dijadikan apapun, tetapi barangkali perlu alasan untuk ini.

Secara kontekstual sajak “Menjelang Pembakaran Sinta” merupakan kisah yang bersumber dari mitos Ramayana. Mitos ini menceritakan perjalanan kehidupan Rama yang selalu dianggap sebagai salah satu contoh keberanian, kepahlawanan, kebajikan dan kesetiaan perkawinan yang paling inspiratif. Kisah ini menceritakan ahli waris yang berhak mendapat tahta Ayodya yang disingkirkan dalam suksesi dan terusir ke hutan bersama isteri dan adiknya selama empatbelas tahun. Dalam pembuangan itu mereka menjalani hidup yang sulit dengan perlengkapan yang seadanya. Para pertapa yang bijak meminta tolong untuk melawan para raksasa yang mengganggu mereka. Rama memerangi raksasa itu sampai berhasil. Pada saat yang sama raja para raksasa, Rahwana, menculik Sita dan membawanya pulang ke Alengka. Dengan bantuan pasukan kera, Sita dapat diselamatkan tetapi ia harus mengalami cobaan berat untuk membuktikan kesucian dan kesetiaannya pada Rama. Ia berhasil dan kembali ke negeri Ayodya untuk kembali memegang tahta dan memerintah dengan baik dan benar. Sajak “Menjelang Pembakaran Sinta” hanya mengambil salah satu bagian dari mitos Ramayana, yakni pada kisah ketika Sita terbebas dari cengkraman Rahwana dan bertemu kembali dengan suaminya, Rama. Dalam hal ini, Sita harus membuktikan dirinya bahwa selama disekap oleh Rahwana tidak pernah disentuh dan dinodai raja raksasa itu.

Secara umum, mitos ini menekankan pentingnya Kama: cinta, kesenangan, keinginan. Tanpa cinta, manusia tidak memiliki keinginan terhadap keuntungan duniawi dan semua kegiatan dilhami olehnya. Demi cinta orang bijak belajar Weda, menyajikan qurban atau membenamkan dirinya dalam tapabrata. Cinta itu mahakuat, tak mengenal undang-undang dan melimpah dengan nafsu. Selanjutnya cinta harus dinikmati dengan bijaksana dan timbal balik, jika tidak maka dari keseluruhan tubuhnya akan memancar penderitaan (Parrinder, 2005:22).

Pada bagian di bawah judul dalam sajak ini tertulis untuk tarian Restu, artinya sajak ini sumbernya tidak saja dari mitos tetapi juga dari tarian yang diciptakan atau mungkin dimainkan oleh Restu. Tetapi dalam kesempatan ini, tarian sebagai sumber rujukan tidak akan dibahas. Ada perbedaan yang menyolok antara sajak dengan mitos dalam kisah ini. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan Goenawan, seperti dalam bab satu, bahwa hasil pembacaan terhadap cerita wayang mempunyai kemungkinan untuk ditafsirkan kembali dalam bentuk yang lain yang tidak harus sama dengan cerita sumber. Cerita atau kisah tidak mengikuti pakem lagi tetapi diolah dalam bentuk lain bahkan membuka peluang untuk saling bertentangan dengan pakem.

Sajak “Menjelang Pembakaran Sita” adalah sebuah metafor untuk menggambarkan asmara yang sakit, tidak saling percaya yang disebabkan oleh beberapa waktu mengalami keterpisahan tubuh. Hal ini sejajar dengan sajak “Dongeng Sebelum Tidur” dan “Asmaradana”. Sita harus tinggal bersama si raksasa penculik sedangkan Rama mengembara di hutan-hutan dan berperang dengan pasukan si penculik. Akhirnya, perang itu dimenangkan Rama dan dengan demikian mendapatkan kembali istrinya. Namun, perpisahan telah mengubah sikap di antara keduanya. Rama tidak percaya lagi pada kesucian Sita seperti yang dikatakannya “Telah kuciumi tubuhmu yang setia dan tak suci lagi”, kepada Sita. Dengan kata-kata yang tajam dari Rama, kemesraan jadi hilang di antara keduanya. Sita tidak membuat pengakuan atau penolakan atas apa yang dituduhkan Rama kepadanya. Tetapi kata-kata itu telah memukul hatinya sehinga perasaan dan pikiran Sita seperti diajak kembali ke masa ketika berada di istana Rahwana. Peristiwa ini terdapat dalam bait enam sampai sebelas, di mana Sita pernah merasakan ada laki-laki lain yang menyetubuhinya, yang memberi nikmat yang telah ia sentuh dalam takjub.

Sita bersetubuh dengan laki-laki bukan suaminya atau berkhianat terhadap Rama, tetapi persetubuhan itu seperti tidak disadarinya. Dirinya tidak tahu siapa lelaki yang telah disentuhnya dalam takjub, yang dia ingat adalah kenikmatan persetubuhan itu. Dia ingat bagaimana lidah laki-laki itu menciumi lehernya, susu dan putingnya sehingga dirinya hanyut dalam percintaan yang penuh nikmat. Dalam proses persetubuhan itu, Sinta sempat bertanya, “Bisakah kita terbebas dari balur dan luka?” Tapi pertanyaan itu tak mendapat jawaban yang semestinya, sebagai jawaban adalah nafsu berahi semakin memuncak dan susu Sinta dikulumnya sampai pada akhirnya percintaan itu berlangsung. Dalam hal ini, persetubuhan tidak mengandung pemaksaan tetapi sama-sama dilakukan atas dasar suka sama suka, saling menikmati dan memuaskan.

Peristiwa di atas, persetubuhan Sita dengan Rahwana, adalah sebentuk ketidakpercayaan terhadap kebenaran absolut yang terdapat dalam pakem. Ada sajak serupa yang diciptakan Sastrowardoyo dengan judul ”Asmaradana”. Pada sajak ini dikisahkan Sita melakukan senggama dengan Rahwana sang penculik. Hal ini untuk mengemukakan pandangan atau pendapat penyair sendiri bahwa manusia itu tidak dapat terlepas dari nalurinya (Pradopo, 2005: 255). Contoh yang paling popular adalah terlemparnya Adam dan Hawa dari surga sebagai akibat dari tidak tahannya manusia dari dorongan naluri. Bagi Sastrowardoyo dan Goenawan Mohamad dorongan naluri ini mustahil untuk dihindari, apalagi jika situasi dan kondisi ikut menciptakan terbentuknya naluri itu. Pada kisah Ramayana disebutkan bahwa Sita sangat dimanjakan secara duniawi oleh Rahwana. Situasi ini ditambah oleh kenyataan bahwa Rahwana sangat sakti dan bisa mengubah dirinya menjadi apapun. Jadi, sangat mungkin jika Sita tergoda pada saat-saat dirinya sedang berada dalam puncak keinginan seksualnya tinggi. Dan dalam diri manusia yang sudah terbiasa rutin bersenggama, siklus ini biasanya selalu datang teratur menurut pada kebiasaan-kebiasaannya.

Sajak ini mengungkapkan persoalan tentang cinta dan kesetiaan. Adakah cinta yang betul-betul sejati, yang tidak memerlukan hal lain kecuali cinta terhadap kekasih atau pasangan dan tidak pernah dimasuki cinta lain sehinga seluruh jiwa dan raga hanya untuk dipersembahkan kepada kekasih tercinta. Memang, dalam cerita pakemnya cinta antara Rama dan Sita adalah cinta yang tidak mengenal cinta lain, selain pada pasangannya. Sita telah lulus dari godaan akan kenikmatan dunia yang terus menerus dilancarkan Rahwana, Sita bergeming dan tetap setia pada kekasihnya. Meski demikian, meski Sita telah menjaga kesetiaan dan kesucian jiwa dan raganya ternyata tetap tidak dipercaya oleh kekasihnya. Dirinya harus merelakan tubuhnya untuk terjun ke dalam unggunan api yang siap menghancurkannya dalam rangka pembuktian bahwa dirinya adalah perempuan yang setia dan suci tak tersentuh lelaki selain Rama.

Sebuah sajak atau sastra menurut Ricoeur adalah sebuah dunia yang mungkin, sebuah dunia baru yang diciptakan pengarang yang tidak harus selalu sama dengan dunia yang pernah ada dalam dunia yang lain meski cerita itu bercerita tentang sesuatu yang sama. Pada sajak ini Goenawan telah menciptakan dunia yang mungkin itu, seraya menampik kebenaran-kebenaran yang dinyatakan mutlak oleh dunia yang telah ada. Menurut Goenawan, seorang penulis adalah seorang yang hidup ‘di rumah sunyi’ akan menampik kebenaran-kebenaran yang dinyatakan mutlak, menyambut gangguan pada kisah yang harus merangkul perdebatan dan ketidakpastian juga pembangkangan dan merayakan perbedaan dan persamaan. Dalam kapasitas ini, cinta dan kesetian menjadi semacam takhayul yang keberadaannya sulit untuk dibuktikan, cinta dan kesetiaan harus dilogiskan dengan peristiwa yang menyertainya. Karena itu, kisah cinta Rama dan Sita yang terkandung dalam kisah Ramayana sangat berbeda dengan sajak yang sama-sama mengisahkan tentang Rama dan Sita ini. Sajak ini tidak bicara lagi tentang Sita yang setia dan tidak tersentuh lelaki lain atau kepatuhan Sita terhadap kekuasaan Rama sebagai suaminya. Sajak ini menyampaikan pertanyaan tentang kesetiaan dan kesucian. Kesetiaan yang mutlak yang disertai pula oleh kesucian, juga deretan pertanyaan lain seperti masih perlukah kesetiaan dalam kondisi yang ‘kritis’, apa guna kesetiaan, bagaimana efek dari kesetiaan dan ketidaksetiaan bagi diri pelaku juga bagi orang yang disetiainya itu, seperti apa kesucian itu, mengapa harus dipertanyakan tentang kesucian dari pasangan suami istri, kepada siapa berkhianat dan kepada siapa berdosa, apa fungsi kesucian itu, apa efek dari kesucian dan ketidaksucian, siapakah yang diuntungkan dan dirugikan dari kesucian dan kesetiaan, mengapa harus ada hukuman terhadap ketidaksetiaan dan ketidaksucian, mengapa manusia melebihi Tuhan dalam hal menghukum, mengapa tidak ada pengampunan terhadap ketidaksucian. Pada sajak ini tampak ada perlawanan atau pemberontakan terutama terhadap kekuasaan laki-laki, terhadap konvensi yang mengharuskan perempuan untuk setia dan suci di hadapan laki-laki, sementara laki-laki sendiri selalu tidak menjadi masalah ketika dirinya mempunyai lebih dari satu perempuan bahkan hal itu menjadi kebanggaan dan menaikan derajat kelelakian.

Tempat segala kebaikan, tentang pahala-pahala dari kebaikan, tentang siksaan sebagai buah dari dosa biasa dibicarakan di tempat-tempat ‘suci’ yang penuh wibawa. Dalam ruang seperti ini, secara hitam putih tentang dosa dan pahala itu tampak jelas. Berbeda dengan di tempat-tempat yang ‘kotor’ dosa dan pahala seperti tidak pernah ada dan tidak dipermasalahkan. Hal ini terlihat dalam kutipan sajak berikut.

Di antara ruap rawa dan miasma barangkali akan ada sebuah ruang
luang dimana tak ada lagi kitab tak ada kata dan kita tetap tak
mengerti apakah yang tak suci apakah yang setia.
(Goenawan Mohamad, 2001: 137)

Potongan sajak di atas adalah bait terakhir dari sajak “Menjelang Pembakaran Sita”. Bait itu seolah ingin mengungkapkan bahwa dari sebuah kondisi yang tidak nyaman atau yang menyakitkan, ruap rawa dan miasma, akan muncul ketiadaan aturan dan kekangan yang mengekalkan ketidakmengertian tentang kesetiaan dan kesucian. Artinya, ada harapan terbebas dari segala hukum ketika suatu langkah yang dianggap salah oleh norma-norma yang berlaku, baik aturan yang datang dari Tuhan maupun dari ciptaan manusia. Dengan demikian, ketika menentukan pilihan yang menyenangkan tidak lagi takut akan hukuman. Jika dihubungkan dengan kisah Sita dalam sajak, hal ini merupakan pembelaan atau perlawanan atas kesewenangan laki-laki yang mengatasnamakan norma-norma. Selain perlawanan terhadap kesewenangan laki-laki, sajak ini sangat potensial melawan terhadap adanya aturan yang bersumber dari kitab suci.

Persoalan itu diawali oleh pertemuan kembali antara Rama dan Sita sehabis Sita berada dalam dekapan si penculik. Dalam pertemuan itu, Sita tahu dirinya akan dihukum oleh Rama, tetapi dirinya berusaha untuk bersabar dan tidak merasa bersalah atas apa yang dilakukannya. Hal ini merupakan persoalan dari sebuah pertanyaan besar tentang kesetiaan. Adakah kekuatan seseorang untuk bersetia terhadap kekasihnya, sementara dalam keterpisahan itu dirinya diperlakukan demikian penuh kemanjaan, penuh perhatiaan dan ketersediaan segala kebutuhan hidup. Bahkan si penculik yang mencintai Sita teramat pandai dan berkuasa untuk melakukan berbagai hal yang sesuai dengan kehendaknya. Selain itu, persoalan ini berhubungan pula dengan seberapa jauh kekuatan atau daya tahan lelaki semacam Rahwana untuk membiarkan Sita yang cantik dan dicintainya dalam keadaan tidak tersentuh, begitupun sebaliknya seberapa jauh kekuatan perempuan dalam menahan hasratnya ketika telah terbiasa rutin dalam kegiatan seksual tatkala digoda laki-laki yang bahkan bisa menyamar sebagai kekasihnya. Tentu saja pikiran-pikiran semacam ini hinggap juga di kepala Rama, sehingga dengan mudah dia menuduh kekasihnya telah berkhianat. Apalagi dalam kenyataannya Rama adalah seorang raja agung yang dihormati rakyatnya. Dan sebagaimana tabiat kekuasaan pasti selalu mempunyai kecurigaan yang berlebihan. Di sini persoalan cinta sejati ternyata harus memenuhi persyaratan tertentu dan tidak bisa menerima apa adanya seperti pada Rama yang tidak begitu saja menerima Sita selepas dari sekapan Rahwana, meskipun hal itu di luar kehendak dan kekuasaan Sita. Akibatnya, cinta dan kerinduan yang telah lama dipendam pada keduanya menjadi sia-sia, ranjang menjadi renggang dan seprei menghening karena tidak terjadi kehangatan seperti yang biasa terjadi pada sepasang kekasih yang dilanda cinta dan rindu.

Sajak ini selain bertemakan kesetiaan juga mengungkapkan arogansi kekuasaan laki-laki terhadap perempuan, baik yang dilakukan Rahwana ataupun Rama. Perempuan atau isteri yang dalam tata istiadat tradisional harus mengabdi dan manut kepada suami dibedakan dengan posisi laki-laki. Perempuan tidak boleh main laki-laki bahkan dalam hidupnya menurut Beauvoir (1989) perempuan selalu berada dalam pengawasan laki-laki. Pada masa kecil dirinya diawasi oleh bapaknya, pada masa dewasa diawasi oleh suaminya, dan pada masa tua diawasi oleh anaknya. Perempuan yang main laki-laki dianggap sebagai perempuan yang rendah dan tidak diterima di masyarakat, sedangkan laki-laki yang main perempuan tidak menjadi soal bahkan seperti menjadi sebuah kebanggaan.
Parrinder (1996: 45-46), menyebutkan bahwa pada zaman ketika Rama menyerang Rahwana, para pelacur mendampingi keberangkatan prajurit dan menemani mereka selama dalam pertempuran. Posisi pelacur pada zaman itu mempunyai posisi yang tinggi karena dipelihara dan diberi pelajaran tentang melayani laki-laki oleh negara. Tentu saja pelacur tersebut tidak mempunyai suami alias hidup dari satu pelukan laki-laki ke laki-laki lain. Pelacur berfungsi untuk menghibur dan menyenangkan laki-laki juga sebagian ada yang berfungsi sebagai alat beribadah dalam mencapai Tuhan. Dalam konteks ini, laki-laki sudah terbiasa melakukan hubungan seksual dengan perempuan lain, bahkan para pangeran atau anak-anak muda belajar hubungan seksual dengan para pelacur sebelum memasuki masa pernikahan. Hal ini tidak berlaku untuk perempuan, dirinya harus tetap dalam keadaan suci dan tidak pernah ternoda.
“Telah kuciumi tubuhmu yang setia
dan tak suci lagi.”
(Goenawan Mohamad, 2001: 137)

Bait di atas menunjukkan ada tubuh yang suci dan tidak suci, ada tubuh yang setia dan tidak setia. Tubuh yang setia adalah tubuh yang selalu siap melayani hasrat, sedangkan tubuh yang suci adalah tubuh yang terbebas dari dosa, tubuh yang tidak pernah tersentuh oleh tubuh lain yang bukan haknya. Tubuh yang tidak suci pada perempuan menjadi persoalan bagi laki-laki karena laki-laki merasa berkuasa atas tubuh perempuan, maka tubuh yang tidak suci itu harus dimusnahkan seperti Sita yang harus masuk ke dalam unggunan api. Akan tetapi, siapa yang berhak menentukan yang suci dan tidak suci, siapa yang tahu tubuh yang suci dan tidak suci. Selain diri yang bersangkutan tentulah Tuhan yang tahu tentang ketidaksucian itu. Manusia hanya bisa menebak-nebak seraya memberi penekanan dan ancaman kepada yang dicurigai untuk mengakui perbuatan itu seperti yang dikatakan Rama kepada Sita, //“Tapi aku mencintaimu: jangan kau mati// dalam ritus ketidakmengertianku//. Sita tidak pernah mengakui perbuatannya, Rama tidak bisa yakin akan apa yang ada dalam pikirannya tentang Sita. Karena itu, Rama tetap memberi penekanan dan Sita tetap tenang untuk memasuki arena hukuman seperti yang diinginkan Rama tanpa pernah mengakui perbuatannya. Dalam pakem Sita terjun ke dalam unggunan api tetapi berkat pertolongan dewa dia selamat dan utuh tak sedikitpun terbakar. Dalam kisah lain ketika Rama tak percaya pada kesucian Sita, perempuan itu marah dan meninggalkan Rama untuk kembali kepada ibunya yakni bumi, maka pada saat itu bumi terbelah dan Sita masuk ke dalamnya. Pada sajak ini diungkapkan bahwa Sita pasti akan mati ketika masuk dalam unggunan api sebab Sita tidak suci lagi sedangkan pada pakem Sita selamat dan kembali kepada Rama. Dunia yang diciptakan dalam sajak ini adalah sebuah dunia lain yang merupakan bentuk ketidakpercayaan pada kesetiaan dan pada kesucian. Sita tidak mungkin suci lagi ketika lama berdiam di tempat orang sakti semacam Rahwana juga hasrat seksual Sita tentulah tidak selamanya bisa ditekan. Sita menjadi korban ego dan nafsu laki-laki. Pertama ego dan nafsu Rahwana, kedua ego dan nafsu Rama. Sita tidak berdaya tetapi dia telah menunjukkan perlawanannya dengan tidak mengatakan apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya. Dia memilih bersedia masuk ke dalam unggunan api daripada mengatakan peristiwa yang dialaminya.

Dunia sastra merupakan dunia yang mungkin, dunia baru yang diciptakan pengarang dan potensial untuk direalisasikan dalam dunia yang masih harus diciptakan. Sita mungkin tidak kuat menahan godaan Rahwana mengingat Rahwana adalah sosok yang sakti dan berkuasa. Selain itu, Sita disekap demikian lama dengan fasilitas yang sangat enak dan nyaman. Ini memunculkan pertanyaan tentang apa dan bagaimana kesetiaan itu, juga apa dan bagaimana kesucian itu seperti yang terlihat pada bait akhir sajak ini, …tak ada lagi kitab tak ada kata dan kita tetap tak// mengerti apakah yang tak suci apakah yang setia. Artinya, kesetiaan dan kesucian tetap sebagai sebuah misteri yang tersembunyi rapat dalam ketidakmengertian. Dari baris itu terungkap pula bahwa segala aturan itu bersumber dari kitab suci yang berada di tempat yang suci pula, tidak di rawa-rawa atau tempat yang kotor dan jijik. Ini juga semacam perlawanan atau penolakan terhadap ajaran atau aturan agama yang mengerangkeng kehendak untuk menikmati hidup yang dibungkus oleh kebebasan. Seolah-olah kebebasan tidak pernah ada selama mengikuti ajaran kitab-kitab, tetapi kebebasan dan kenikmatan hidup itu ada di tempat-tempat kotor dan tidak terjangkau kesucian kitab suci.
Selain hal di atas perlu digarisbawahi pula munculnya dominasi Rama terhadap Sita sekaligus memunculkan Sita yang tersubordinasi. Dominasi Rama adalah dominasi laki-laki yang menghendaki pengakuan Sita atas apa yang dilakukannya. Penekanan Rama akhirnya menggiring Sita melakukan upacara terjun ke unggunan api. Memang, kesetiaan manusia terbatas sehingga masih mungkin mengalami perubahan. Seperti juga pada cinta Sita, dirinya secara tidak sadar tergoda untuk menikmati cumbuan dan bercinta dengan laki-laki lain. Akibatnya dia merasa bersalah pada Rama dan mengalami ketidakyakinan diri, dia merasa tidak nyaman ketika terus dipandang oleh suaminya, dia merasa tidak tahu siapakah dirinya, apakah masih isteri Rama atau kekasih seseorang. Jangan pandangi aku. Aku tak tahu siapa aku, begitulah Sita hatinya ingin berteriak karena ada semacam rasa bersalah yang bersarang pada dirinya. Cinta di antara keduanya menjadi renggang. Rama meski mencintai Sita tidak bisa menerima Sita yang ternoda karena itu Sita harus dihukum.

Ketika Rama menjatuhkan hukuman pada Sita, Rama seolah-olah Tuhan yang bisa menentukan hukuman bagi manusia dan bukannya berusaha memperbaikinya. Goenawan menulis dalam Catatan Pinggir 4, bahwa dosa –suatu pelanggaran terhadap hubungan dan janji kita dengan Tuhan- sering tak bisa begitu saja diterjemahkan sebagai rusaknya hubungan sehari-hari dengan orang lain. Kita punya kemungkinan untuk mencegah dan memperbaiki kerusakan yang satu ini, tapi tentang dosa, kapasitas kita agaknya lebih terbatas. Kita tak mudah menyucikan dan menyelamatkan tetangga-tetangga kita. Rupanya pikiran tersebut oleh Goenawan ditulis dalam sajak ini, bahwa orang yang gagah sakti sekaliber Rama tidak cukup untuk mengubah, menyelamatkan, dan menyucikan Sita menjadi suci terbebas dari dosa. Hal ini justru secara duniawi telah kehilangan keakrabannya, persahabatannya sehingga semua harus hilang lenyap meninggalkan dunia yang indah dengan alasan sebagai bentuk penebusan dan perbaikan terhadap kualitas keimanan. Penebusan dosa dengan demikian adalah hal yang menyakitkan dan penuh derita.

Dalam Islam, penzinah harus dicambuk empatpuluh kali jika si pelaku belum menikah dan dirajam sampai mati jika si pelaku pernah atau sedang dalam menikah. Bentuk pengampunan ini membawa kesakitan dan peederitaan lain, sementara efeknya belum pernah terbukti bisa mengubah perilaku si pelaku bahkan yang dirajam tidak akan punya kesempatan untuk memperbaiki diri. Tidak ada bentuk pengampunan yang senikmat ketika sedang berbuat dosa. Ini dimaksudkan sebagai bentuk ancaman yang menakutkan yang dengan demikian diharapkan manusia tidak melakukannya. Inilah yang dipertanyakan dalam sajak ini, dosa dan pengampunan juga sikap manusia yang merasa paling suci dan seolah punya hak untuk menghukum si pendosa.

Sajak ini menampakkan metafor bahwa laki-laki sangat mendominasi perempuan, baik yang dilakukan Rama ataupun Rahwana juga memnggambarkan bahwa sebetulnya perempuan mempunyai kekuatan yang bisa melebihi kekuatan laki-laki tatkala laki-laki sedang mabuk asmara terhadapnya dan belum diberi kepuasan secara seksual. Laki-laki akan menyembah-nyembah perempuan. Artinya, seksualitas mendorong laki-laki untuk mendekati dan bersikap baik terhadap perempuan manakala dirinya sedang membutuhkan, sebaliknya laki-laki akan bersikap masa bodoh bahkan menguasai perempuan tatkala hasrat seksualnya telah terpenuhi. Sebuah tawar-menawar yang tidak sepenuhnya seimbang sebab perempuan selalu dicampakkan dan dinomorduakan tatkala dirinya tidak diperlukan.

Ada tiga hal yang ditawarkan dalam sajak ini, yaitu hubungan laki-laki dengan perempuan, kesucian, dan kesetiaan. Untuk hubungan laki-laki dengan perempuan tampak bahwa laki-laki masih mendominasi perempuan. Akan tetapi meski ada dominasi laki-laki, di sini ada perlawanan dari perempuan, bentuk perlawanan itu masih dalam tahap diam-diam. Perempuan mempunyai hak untuk menentukan dirinya, untuk memilih laki-laki yang disukainya. Ketika perempuan membuat perlawanan ternyata dalam dirinya masih tersisa kegamangan dan rasa bersalah, tetapi hal ini cukup ampuh dan punya pengaruh yang kuat bagi dunia laki-laki, meski pada akhirnya perempuan tetap menjadi pihak yang kalah dan terus didominasi laki-laki. Setidaknya hal ini telah memberi sinyal untuk dilanjutkan ke dalam dunia yang lebih ideal, dunia yang masih perlu dilanjutkan.

Secara simbolis sajak mengungkapkan ketidakpercayaannya pada kesetiaan dan kesucian. Selain itu sajak ini juga mengungkapkan bahwa manusia tidak layak untuk menghukum atau mengubah manusia lainnya yang dianggap berdosa karena dosa terhadap Tuhan adalah urusan manusia bersangkutan dengan Tuhannya. Manusia tidak akan bisa mengubah yang dosa menjadi suci dengan menggunakan hukuman yang keras. Manusia seringkali menggunakan kitab suci untuk membentengi kepentingan dirinya, memberikan hukuman seolah dirinya seorang yang paling suci.

/5/
Cinta dalam sajak-sajak Goenawan tampak penuh problema. Sajak cinta Goenawan bagi saya nyaris seperti sebuah jalan pengusiran dari suasana yang riuh ramai, yang multi suasana kolektif kepada suasana yang penuh kesendirian. Suasana itu laksana seorang pengembara yang terjebak di luas gerimis di sebuah tempat yang jauh lantas diri yang diliputi basah dan dingin itu meneduhkan sekujur tubuhnya di dangau yang porak, kusam, dan bergenting bocor; yang menciptakan suasana jauh panineungan . Sajak-sajak cinta itu merupakan penggiringan untuk masuk ke dunia yang betul-betul ruang sunyi, ruang sepi, dan sangat mencerabut segala ruang di mana percintaan adalah segala kebahagiaan penuh kehangatan dan senyum. Sajak-sajak itu hampir segala peristiwa kepedihan, sebentuk perpisahan oleh sebab sepasang kekasih harus merelakan dirinya tercungkil dari kehangatan kemesraan selimut cinta. Lalu yang tersisa adalah tangis, kesendirian, kepedihan dari liang luka yang dikecupi cuka garam. Dalam hal ini, sepasang kekasih harus berpisah dan mengalami kesendirian. Takada kisah cinta yang membahagiakan. Sajak menjadi penuh bunyi kesedihan, kemurungan, dan kesendirian. Cinta hilang dan kerinduan menjadi rasa pedih yang sangat menusuk. Meski demikian sepasang kekasih itu selalu masih mencoba memberi harga pada sesuatu yang sia-sia itu sebab semua telah ditentukan sebagaimana kersik pada karang, lumut pada lokan dia akan tetap ada di tempatnya apapun maknanya.

Cinta akan lengkap jika jiwa dan raga itu menjadi satu. Dan inilah kebanyakan cinta dalam sajak-sajak Goenawan. Selain rasa di hati juga harus disertai dengan pelukan hangat dan kemudian berahi yang harus mendapat tempat. Akan tetapi, sejak sajak cinta itu bertitimangsa 2009 berahi itu tampaknya tidak lagi muncul, bahkan tampak ada konsep baru tentang sesuatu yang bernama cinta itu. Hal ini bisa dilihat dalam sajak “Di Korinthus”. Secara umum sajak ini berkisah tentang seorang perempuan yang mendengarkan seseorang membacakan lembar-lembar surat yang mungkin datang dan dibawa dari jauh. Isi surat itu ada empat hal yang berkaitan atau mengenai cinta. Pertama “Cinta itu sabar….”, kedua “Cinta tak irihati….”, ketiga “Cinta tak menyombongkan diri”, dan keempat adalah “Cinta menanggungkan segalanya, percaya segalanya.” Pada yang kesatu sampai ketiga surat itu dibacakan tidak terlalu jelas karena ada sekian suara yang juga turut gemuruh, namun pada bagian yang keempat kalimat itu dibacakan keras-keras seakan-akan ada yang harus dikatakaan kepada tanah genting yang kosong itu. Tampak cinta di sini lebih mendalam, lebih total, sangat bajik dan bijak, dan begitu murni.

Barangkali jika konsep cinta yang empat hal itu telah menjadi pedoman yang kuat bagi pelakunya takan ada lagi kisah cinta seperti yang dialami oleh Sita, Kunthi, dan perempuan-perempuan lainnya. Barangkali sajak cinta itu juga tidak akan penuh berahi yang menggeletar lagi atau mungkin dalam bentuk berahi yang paling takterbayangkan lembut dan nikmatnya, dan barangkali sajak cinta itu tak muram lagi.

/6/
Selain cinta dan perempuan, sajak yang berlatar atau yang bersumber mitos juga berbicara tentang kematian, tuhan, dan kekuasaan. Dalam pembacaan saya, tema kematian muncul dalam sajak “Pariksit”, tentang Tuhan muncul dalam “Gatoloco”, dan tentang kekuasaan muncul dalam “Penangkapan Sukra” dan masih ada beberapa lagi.

Secara tekstual sajak Pariksit mengungkapkan kegelisahan dan ketakutan aku lirik pada kutukan Crenggi. Bentuk kutukannya yaitu aku lirik akan mati oleh Naga Taksana. Karena itu, aku lirik membuat benteng pertahanan yang kokoh untuk menghindari kutukan atau kematian yaitu dengan diam di sebuah menara yang tinggi. Dalam menara itu Pariksit merasa tersiksa, kesunyian, dan ketakutan. Dia bermonolog menceritakan kegelisahannya selama dalam persembunyian di menara tersebut.

Pariksit adalah nama seorang raja dari keturunan Pandawa, dia cucu Arjuna dari Abimanyu yang beristerikan Dewi Utari. Pariksit menjadi raja dengan menggantikan Yudistira yang akan meninggalkan dunia keramaian dengan pergi menuju puncak Himalaya. Karena sebuah kesalahan, yakni mengalungkan bangkai ular hitam di leher Begawan Samitri, Pariksit mendapat kutukan dari Brahmana Crenggi (anak Begawan Samitri). Bentuk kutukannya yaitu bahwa Pariksit akan mati oleh ular Naga Taksaka. Maka ketika dirinya menjadi raja, Raja Pariksit menyuruh rakyatnya untuk mengadakan upacara sarpayajna untuk mengusir semua ular. Tetapi meski diusahakan kutukan itu tetap menjadi kenyataan, dirinya meninggal karena gigitan Naga Taksaka.

Satu hal yang pasti dalam hidup ini ialah bahwa semua mahluk hidup pasti akan mati. Dan membicarakan kematian bukanlah sesuatu yang mudah. Sebab pengetahuan manusia tentang kematian sangat terbatas, juga karena ketakutan seringkali meliputi situasi pembicaraannya.

Seorang penyair besar Indonesia, Chairil Anwar, pernah bersajak Aku ingin hidup seribu tahun lagi. Dalam Alquran disebutkan, salah seorang di antara mereka berkeinginan untuk dihidupkan seribu tahun (Q.S 2:96). Bahkan Nabi Adam a.s. terusir dari surga karena tergoda oleh janji palsu iblis yang merayunya dengan kata-kata: Maukah kamu kutunjukan pohon kekekalan dan kekuasaan yang tidak habis-habisnya?(Q.S. 20:120).

Uraian di atas menunjukkan betapa kehidupan sangat dicintai dan sebaliknya kematian merupakan hal yang tidak dikehendaki. Manusia selalu lupa bahwa dirinya akan mati dan Tuhan memberi peringatan akan hal ini dalam Q.S. 3: 185, bahwa setiap yang bernyawa akan merasakan kematian. Meski demikian manusia tetap saja selalu takut akan datangnya kematian, manusia akan senantiasa berusaha untuk sehat dan kuat terus di dalam hidupnya. Seorang filsuf dari Prancis, Sartre via Shihab (1992: 137), mengingatkan dua hal yang mungkin akan meringankan malapetaka kematian: (a) bahwa kematian merupakan risiko kehidupan, dan karenanya tidak seorang pun yang hidup kecuali akan mati; dan (b) semakin banyak orang yang disentuh oleh malapetaka, semakin ringan sentuhannya di hati mereka. Artinya, karena manusia adalah mahluk bernyawa maka dirinya pasti akan mati dan hal itu tidak bisa ditawar-tawar. Mati adalah salah satu tahapan perjalanan yang harus dilalui manusia. Sedangkan pengertian yang kedua, orang yang sering berkutat dengan suatu persoalan maka lama-kelamaan akan terbiasa dengan persoalan itu. Jadi, kematian sebaiknya tidak ditakuti tetapi harus diakrabi karena manusia akan sampai juga kepada kematian.

Seperti yang ditulis dalam sajak ini, Pada akhirnya kita// tak senantiasa bersama. Ajal// memisah kita masing-masing tinggal//. Ini sebuah kepastian yang menjadi takdir Allah dan tidak bisa ditawar-tawar. Malapetaka kematian akan menyentuh semua orang. Satu hal lain adalah bahwa kematian itu penuh misteri dan penuh rahasia. Kepastian kapan kematian itu akan tiba adalah sebuah rahasia yang tidak bisa dipecahkan atau apa penyebab dari kematian itu juga sama-sama penuh misteri. Jika kematian itu sudah diketahui waktu dan sebab kedatangannya, misalnya, tentu saja akan membuat manusia menjadi semakin diburu kegelisahan. Begitulah yang tergambar, yang bisa dilihat dalam sajak ini, yakni ketika Pariksit seorang raja Astina telah kena kutukan bahwa kematiannya akan datang melalui gigitan ular. Peristiwa kutukan dalam dunia pewayangan merupakan peristiwa yang selalu menjadi kenyataan, terutama jika yang mengutuk itu dewa atau seseorang yang hatinya teraniyaya. Dalam perang keluarga Bharata, para pahlawan dari kedua pihak telah ditentukan kematiannya. Hal ini terjadi karena mendapat kutukan atau sumpah dari orang-orang yang pernah disakitinya. Misalnya, Bisma akan mati oleh perempuan. Karena itu, Kresna sebagai orang yang telah mengetahui jalan kematian seseorang menjadi leluasa mengatur kemenangan bagi Pandawa. Dalam Islam ada doa yang paralel dengan kutukan, yaitu bahwa salah satu doa yang dikabul adalah doa orang yang teraniyaya. Artinya, sangat mungkin jika orang yang teraniyaya mendoakan orang yang menyakitinya.
Pariksit menunggu hari segera lewat.
Orang-orang pun menunggu batas waktu kutukan Crenggi kepadanya berakhir,
hingga baginda bebas dari ancaman kebinasaan oleh Naga Taksaka. Saat
itu hari dekat senja. Raja muda yang disembunyikan di pucuk menara itu
tengah tegak, merapatkan diri ke tingkap. Angin bangkit.
(Goenawan Mohamad, 2001: 23)

Kutipan di atas merupakan bait pertama dari sajak yang mengungkapkan bahwa seseorang (Pariksit) telah terkena kutukan Crenggi yang sakit hati karena ayahnya telah dihinakan oleh Pariksit. Adapun kutukannya yaitu kematian Pariksit akan datang melalui ular Naga Taksaka. Karena itu, Raja muda tersebut disembunyikan di sebuah menara yang aman dan terlindung. Dalam kisah pewayangan, ketika Pariksit mendapat kutukan tersebut pertama kali yang dilakukannya adalah membuat upacara pengusiran terhadap ular. Dia takut pada kematian itu atau berusaha untuk tidak mati secepatnya, dirinya berusaha untuk membuat umurnya terus panjang. Selain upacara, raja itu membuat benteng pertahanan yang kokoh dan hidup terpencil, sunyi jauh dari keramaian dunia. Dia bersembunyi dari kemungkinan kedatangan penyebab kematian dengan berdiam di sebuah menara. Dalam dirinya muncul kecemasan-kecemasan meskipun segala usaha telah dilakukannya untuk mengusir kematian atau kutukan itu. Hal ini pernah terjadi juga dalam mitos Oedipus. Raja telah mendapat kepastian bahwa yang akan mengakhiri hidupnya adalah anak kandungnya. Dirinya cemas setiap kali bersetubuh karena takut hasil senggama itu membuahkan anak. Bahkan ketika hal itu tidak bisa dicegah yakni berhasil membuahi istrinya, anak kandungnya dibuang dan disuruh untuk dibunuhnya. Ini menunjukkan bahwa kematian yang telah diketahui penyebabnya akan membuat manusia cemas dan berusaha untuk menjauh dari penyebab itu. Artinya, kematian tidak dikehendaki secara iklas meski sudah ada kepastian bahwa setiap mahluk hidup akan mati. Kematian yang sudah diketahui kedatangan dan penyebabnya itu membuat manusia yang bersangkutan takut, gelisah, dan cemas seperti yang tampak dialami oleh Raja Pariksit.

Ada sebuah kata bijak atau hadis yang bunyinya begini; bekerjalah seolah-olah akan hidup lama dan beribadahlah seolah-olah akan mati besok. Hadis ini berhubungan dengan kematian sekaligus dengan kehidupan. Di sini seolah-olah ada kepastian tentang kematian yakni besok. Karena itu, manusia harus banyak melakukan ibadah sebagai bekal untuk kematiannya. Dalam hadis ini juga tersirat bahwa kematian tidak pernah jelas kapan dan bagaimana datangnya, manusia hanya menebak-nebak. Manusia berupaya untuk mendapatkan dirinya senantiasa berada dalam kesenangan dan kebahagiaan. Berdeda dengan sajak “Pariksit”, kematian sudah ditentukan penyebabnya, dan di sini digambarkan seperti apa jiwa dan pikiran manusia ketika mengetahui hal ini. Seperti dikatakan sebelumnya, raja Astina ini mengadakan upacara mengusir ular karena penyebab kematiannya adalah melalui ular, yang kedua karena masih takut dan tidak percaya pada upacara itu maka raja bersembunyi di sebuah menara yang terlindung dan dijaga ketat oleh rakyatnya. Tetapi hal ini tidak membuatnya nyaman, dirinya tetap merasa dikejar-kejar kematian itu. Maka dalam bait-bait sajak ini digambarkan bagaimana kecemasan, kegelisahan, ketakutan, dan ilusi-ilusi lain yang timbul sebagai akibat dari diketahuinya penyebab kematian.

Kecemasan pada kematian menimbulkan munculnya ungkapan-ungkapan jujur yang keluar dari lubuk hati yang dalam. Ini merupakan sebentuk represi yang akan menimbulkan rasa tenang karena telah mengakui segala kesalahan yang selama ini terpendam di dalam hati. Dalam sebuah tayangan televisi yang mengungkapkan para terpidana mati, tampak ketenangan dibalik rasa cemas itu. Terpidana berusaha untuk berbuat yang terbaik sebelum ajal itu datang. Mereka menangis karena akan berpisah pasti dengan dunia melalui kematiannya. Pada bait satu Romawi, raja merasakan kutukan itu akan segera datang padanya, karena itu ia teringat rakyatnya yang menyelamatkan dirinya sekaligus dirasakan menyiksanya. Disebut menyelamatkan karena dirinya masih punya waktu untuk menghirup udara, sementara dirasakan menyiksa karena dengan penyelamatan itu kecemasan dan ketakutan pada kutukan terus memanjang dalam hitungan waktu yang kian panjang. Rakyat selalu mendoakannya, sementara dirinya sebagai raja tidak pernah mendoakan rakyatnya. Ini merupakan sebentuk hubungan yang sangat hierarkis antara raja dengan rakyat, raja tidak pernah mempunyai doa untuk rakyatnya. Raja adalah sebagai wakil Tuhan dan menentukan nasib rakyatnya, raja hanya menghendaki pelayanan dari rakyatnya sementara dirinya sebagai penguasa tidak pernah mau melayani bahkan sekedar mendoakan rakyat. Nasib rakyat adalah nasib yang harus ditanggung oleh rakyat sendiri oleh perilakunya yang harus selalu berupaya untuk berbaik diri di hadapan sang raja. Bagi penguasa nasib antara raja dan rakyat adalah masing-masing. Maksudnya, keadaan atau reaksi raja selalu bergantung kepada pengabdian rakyat, sementara keadaan rakyat harus diupayakan oleh rakyat sendiri juga sikapnya terhadap raja. Bahkan dalam keadaan cemas, semua pesta pembebasan atau upacara pembebasan dari kutukan yang dilakukan oleh rakyatnya dirasakan sebagai cemoohan pada ketakutannya akan maut. Ini juga merupakan sebentuk arogansi kekuasaan yang selalu menganggap diri sebagai pusat dan segalanya.

Pada bait dua romawi, kecemasan itu menimbulkan ketidakberdayaan dan kesunyian yang menekan. Menara sebagai simbol usaha yang keras untuk melindungi dirinya jika dibandingkan dengan langit yang megah alam yang luas dirasakannya sebagai kesombongan yang membuat dirinya merasa rendah di hadapan alam yang perkasa. Dirinya merasa tidak berdaya untuk melawan atau menghindari ketakutan pada maut. Alam yang terbentang dengan segala keindahannya, tempatnya memacakkan kekuasaan menambah kecemasan dan kesakitan itu sehingga memunculkan sikap yang emosional dan patah hati. Raja yang berkuasa itu menyesali nasibnya yang telah lewat ketika dirinya yang masih berada dalam kandungan terbebas dari usaha pembunuhan yang dilakukan musuhnya (Aswatama). Dalam kisah ini, ketika Pariksit masih berada dalam kandungan, ibunya (Dewi Utari) bersama Pandawa dan Kresna mengejar Aswatama yang telah menghancurkan kaum Pandawa. Dalam persembunyiannya, Aswatama melemparkan rumput dan memanterainya bahwa rumput itu akan menghancurkan kaum Pandawa. Rumput itu hampir kena pada kandungan Dewi Utari dan myaris membunuh sang jabang bayi (Pariksit), tapi Kresna berhasil menyelamatkannya (Pendit, 2005). Dalam kecemasan dan ketakutan, dirinya berharap mati pada waktu itu, sebab dengan mati dirinya akan terbebas dari kutukan kematian melalui ular Naga Taksaka.

Puncak dari kecemasan dan ketakutan itu menimbulkan keberanian seperti yang terlihat dalam bait tiga romawi. Raja merindukan kemenangan, sebuah kemenangan yang akan mengalahkan kecut hati. Raja itu menantang maut untuk segera datang pada dirinya, maut yang akan membinasakan dan melebur dirinya jadi abu. Tantangan pada maut itu merupakan sebentuk keberanian yang menutupi ketakutan dan kegelisahannya. Hal ini semakin memperkuat bahwa kematian itu betul-betul ditakutkan dan tidak diharapkan kedatangannya. Pada akhirnya kecemasan dan ketakutan menimbulkan kesadaran. Sadar bahwa ajal akan datang, sadar bahwa setiap yang fana akan mengalami kematian dan terpisah dari keramaian dunia, sadar bahwa manusia mempunyai keterbatasan-keterbatasan tertentu di hadapan kekuasaan yang lebih tinggi, yakni Tuhan.

Kecemasan dan ketakutan menimbulkan ilusi-ilusi, keinginan ideal yang terdalam dari dasar hati. Ada ilusi kemenangan yang bercampur dengan kesepian dan mengharapkan kematian itu segera datang. Ada ilusi kematian disertai dengan gambaran alam abadi dalam dirinya dan ilusi kebanggaan bahwa dirinya tidak bersikap pengecut dengan bunuh diri.

Sajak ini secara keseluruhan mengungkapkan bahwa kematian yang telah diketahui kapan dan penyebabnya akan menimbulkan kegelisahan hebat sebagai akibat dari perasaan takut, bahkan pada orang yang berkuasa sekalipun. Mungkin karena hal inilah mengapa meramal tidak diperkenankan oleh ajaran Islam. Raja yang terkenal sakti, bijak, dan jadi kebanggan rakyat dalam keadaan cemas mengakui ketakutannya pada kematian itu. Raja yang terkenal dianggap bijak ternyata tidak pernah berdoa bagi rakyatnya, tidak seperti yang dilakukan rakyat padanya, raja yang baik ternyata tetap beranggapan bahwa nasib raja dan rakyat berbeda. Nasib raja diperhatikan oleh rakyatnya, tapi nasib rakyat adalah tanggung jawab rakyat sendiri, rakyatlah yang harus mengatasinya. Artinya, kekuasaan selalu mempunyai kehendak untuk ditempatkan pada piramida tertinggi, pada tempat yang paling mulia tanpa mempunyai kehendak untuk duduk sejajar dengan yang dikuasainya. Kematian tetap menjadi milik mahluk hidup yang fana tanpa memandang kedudukan dan derajat mahluk itu. Ketakutan pada kematian adalah hal manusiawi meskipun orang itu sakti dan mempunyai kekuasaan. Bahkan jika lebih tinggi derajat orang itu atau lebih mulia kedudukannya di kehidupan duniawi maka semakin takut untuk mati sebab mati berarti meninggalkan kesenangan yang dimilikinya.

Pada akhirnya, dalam kisah yang menceritakan raja terakhir keturunan Pandawa ini, Pariksit mati digigit Naga Taksaka yang masuk menyamar ke dalam makanan yang dipersembahkan untuk raja muda tersebut. Kematiannya, seperti juga banyak kematian yang menimpa saudaranya, telah digariskan oleh yang mahakuasa melalui berbagai jalan.

Secara simbolis sajak ini mengungkapkan bahwa takdir jika kepastian kedatangannya sudah diketahui akan menimbulkan kekacauan. Selain itu sajak mengungkapkan bahwa kematian bagaimanapun tidak bisa dihindari oleh yang bernyawa. Manusia hanya mengupayakan untuk berumur panjang, sementara yang menentukan kematian datang dari Tuhan.

/7/
Sajak “Gotoloco” secara tekstual mengungkapkan percakapan atau perdebatan antara aku lirik dengan Tuhan. Adapun yang diperdebatkan adalah tentang eksistensi aku lirik yang selalu menggembar-gemborkan Tuhan di tempat-tempat diskusi atau di tempat umum lainnya. Aku lirik selalu memenangkan perdebatan itu, tetapi pembelaan atau penyebutan nama Tuhan itu hanya sekedar kepentingan untuk menancapkan kekuasaan intelektual di hadapan orang-orang dan bukan untuk mengagungkan Tuhan atau menjalankan syariatnya sebagi bukti kepatuhan.

Secara kontekstual sajak ini merujuk pada serat “Gotoloco” yang mengisahkan perjalanan tokoh Gotoloco, seorang sufi yang pandai berdebat. Gotoloco adalah anak tunggal Raja Suksma Wisesa dari kerajaan Jajar yang mempunyai punakawan bernama Darmagandul. Karena fisiknya yang jelek dan menjijikkan dia disuruh bertapa oleh ayahnya. Harapan ayahnya, wajah yang jelek itu berubah menjadi tampan dan Gotoloco bisa pandai dalam berbicara/berdebat. Setelah sekian belas tahun melakukan tapa dengan menggantungkan tubuhnya di atas pohon, Gotoloco menjelma jadi orang yang pandai berdebat tetapi wajahnya tetap jelek. Dia sering judi, mabok-mabokan, sampai mengatur perdebatan sengit dengan guru-guru Islam. Perdebatan yang sering dilakukannya adalah soal Allah yang benar, manusia, kosmos, agama Islam, sikap hidup, dll. Dalam perdebatan ini Gotoloco selalu menang. Terakhir dia mendapat lawan yang seimbang yaitu Dewi Perjiwati yang kemudian menjadi istrinya. Anderson (1981) dengan sistematik meringkas serat atau suluk “Gotoloco” menjadi tiga bagian. Bagian pertama, pengarang memperkenalkan kepahlawanan Gotoloco sampai pada kegiatannya bertapa seperti kalong di atas pohon dan pesan dari ayahnya tentang musuh bebuyutan yang sudah ditentukan yakni Perjiwati. Bagian kedua, adalah kegiatan Gotoloco dalam perjalanan. Di sini diceritakan perdebatan Gotoloco dengan para ulama, permainan dadu, judi, dan mabok-mabokan. Pengarang juga menceritakan kecerdasan Gotoloco dalam berdebat. Bagian ketiga, menceritakan pertemuan dan perdebatan Gotoloco dengan Perjiwati. Pada bagian ini diceritakan juga tentang persetubuhan Gotoloco dengan Perjiwati sehingga mempunyai anak.
Dalam suluk ini menurut Kristianto (1983), Gotoloco ketika berdebat bersikap “empan papan”, tahu tempat dan situasi, kenal diri, lepas bebas, dan aktivitasnya yang terarah pada tujuan semula merupakan motif primer dalam hidupnya. Ia lebih maju dalam mewujudkan aspirasinya sebagai manusia total, ia tidak terpancing pada penghayatan yang formalistik, ia bukan humanistis-spritualistis, tetapi ia punya prinsif kaweruh, kebijaksanaan dan keyakinan pribadi yang mantap. Perjalanannya memberikan gambaran yang komplit tentang langkah dan pergumulan mistis.

Seperti disebutkan tadi, Gotoloco tidak lebih daripada wujud yang mengerikan, bentuknya tidak harmonis, berbau apek, pemadat, argumentative-filosofis, suka berbicara jorok, dan penis yang dapat berjalan. Simbol Gotoloco yang jelek secara fisik tetapi cerdas dalam argumentasi adalah wujud yang menjijikkan dan menakutkan sekaligus juga sebuah ancaman bagi kemapanan intelektual dan religius. Para ulama atau ustad yang ortodok merasa terancam keberadaannya dengan hadirnya sosok Gotoloco yang pandai berargumentasi tentang agama yang lebih mengarah ke mistis. Gotoloco adalah semacam resistensi kebudayaan setempat atau lokal atas penetrasi unsur-unsur luar seperti Islam. Seorang antropolog Islam asal Pakistan, Akbar S. Ahmed, menunjukkan bahwa hubungan antara Islam sebagai teks besar dengan kebudayaan setempat sebagai teks kecil tidak lagi dilihat sebagai dalam kerangka penundukkan, tetapi justru dalam kerangka makin beragamnya ekspresi Islam setelah bertemu dengan unsur-unsur lokal, termasuk juga dalam kaitannya dengan pertemuan antara Islam dengan kebudayaan pop (Suseno, 2003).

Gotoloco muncul dengan postur yang sama sekali lain. Ia bukan dewaraja, bukan satria, bukan guru asketis, bukan wali, bukan sufi, bukan raja abad XIX, bukan pemimpin pemberontakan seperti Pangeran Diponogoro. Gotoloco tidak lebih daripada wujud yang mengerikan, dia telah menancapkan hidupnya sebagai pendebat yang ahli dan professional. Namun, sebagai seorang intelektual dirinya tidak dilengkapi dengan sikap hidup yang sejalan secara penuh dengan perintah Tuhan. Karena itu ketika Suluk Gotoloco dipublikasikan secara tertulis memancing reaksi keras, khususnya dari golongan Islam Muhammadiyah. Reaksi itu menyebabkan demonstrasi di Surabaya (1918) di bawah inisiatif H.O.S. Tjokroaminoto. Dia juga mengirimkan surat protes kepada otorita pemerintah kolonial bahwa editor Djawi Hiswara, organ Sarikat Islam cabang Surakarta, telah ditaklukan pada upaya kriminal (Anderson, 1981:110).

Dalam analisis Anderson, Suluk Gotoloco didominasi oleh motif kebudayaan Jawa sebelum abad XX. Di sini kultus kesuburan digayutkan dengan bentuk-bentuk pemujaan dan ulah bakti kepada nenek moyang termasuk juga dalam hal mencari kekuatan. Anderson menghubungkan kultus itu dengan kebiasaan yang terjadi di Champa dan Kamboja; religius-politis dan rumit, seperti dalam peradaban Hindu-Budha. Tentang jalan untuk mencapai kekuatan seperti yang dilakukan Gotoloco, menurut Anderson tidak dicapai dengan metode asketisme yogik dan meditasi, tetapi dengan sarana tantrik, keletihan sensual sistematik yang melampaui semua kegairahan badani.

Di sini gambaran menjadi semakin jelas mengapa tokoh Gotoloco seolah didatangi dan ditegur oleh Tuhan. Sajak ini menggambarkan bahwa agama dan Tuhan bukanlah perkara yang cukup untuk sekadar diperdebatkan atau dijadikan sarana untuk mencari penghidupan saja, tetapi agama adalah sarana untuk mengatur dan menjalani kehidupan dengan patuh terhadap ketentuan yang berlaku yang datang dari Tuhan. Artinya, perdebatan yang menjunjung nama Tuhan harus disertai laku yang didasari oleh aturan-aturan Tuhan dan sikap hidup mistis mendapat penolakan.

Dalam sajak ini Tuhan datang dan bercakap-cakap dengan Gotoloco. Kedatangan Tuhan bisa merupakan sebuah mimpi buruk Gotoloco atau juga bisa merupakan ilusi-ilusinya karena perasaan tertekan dalam hatinya. Menurut Armstrong (2006: 43), adanya penjelmaan Tuhan di hadapan manusia disebut sebagai epifani, yakni cerita-cerita yang menunjukkan adanya jelmaan Tuhan yang datang kepada manusia lewat berbagai bentuk. Misalnya terjadi pada Yakub, Abraham, Musa. Jika Tuhan datang secara langsung hal ini merupakan sesuatu hal yang diluar dugaan dan termasuk keajaiban yang luar biasa. Biasanya Tuhan tidak akan datang sendiri, diri-Nya mempunyai malaikat sebagai utusan yang setia dan selalu siap dalam melaksanakan tugasnya. Tuhan dalam sejarah tersebut datang kepada orang-orang pilihan, orang-orang yang mempunyai kedekatan terhadap alam dalam upaya pencarian terhadap Tuhan itu sendiri. Jadi, kedatangan Tuhan pada Gotoloco bisa merupakan sebuah metafor atau juga sebuah pergulatan yang ada dalam batin Gotoloco yang sedang berproses dalam upaya mendekati Tuhan. Jika menyimak Suluk Gotoloco, di situ disebutkan bahwa dia adalah seorang pendebat, seseorang yang diberi kemampuan argumentasi sangat baik dan tidak terkalahkan. Kepandaian ini merupakan sebuah anugerah yang didapatnya dari kekuatan dan ketabahannya dalam bertapa selama bertahun-tahun, yakni dengan melakukan tapa seperti kelelawar yang menggantung di pohon beringin di sebuah hutan. Artinya, dia telah sangat dekat dengan alam seperti juga para pendahulunya yang mencari Tuhan dengan mendekatkan diri pada alam.

Perdebatan yang dilakukan Gotoloco adalah seputar agama dan Tuhan. Dia sering mengatur jalannya perdebatan tersebut yaitu dengan mendata orang-orang yang pintar dan mumpuni di bidangnya, seperti para ustad atau kyai. Perdebatan tersebut diatur sedemikian hingga dan biasanya disaksikan oleh masyarakat banyak. Perdebatan itu selalu dimenangkan oleh Gotoloco. Biasanya jika perdebatan itu atas undangan yang mengajak berdebat, Gotoloco selalu minta bayaran jika tidak dibayar biasanya dia tidak akan pergi dari tempat itu. Bahkan dalam perdebatan itu suka diiming-imingi oleh taruhan.

Kepandaiannya dalam berdebat atau pengetahuannya yang luas tentang agama tidak disertai dengan tingkah lakunya yang sesuai dengan pengetahuannya. Gotoloco yang fisiknya jelek tidak memelihara tubuhnya. Dia bau apek dan kotor, selain itu dirinya sangat gemar memadat, mabuk-mabukan, dan berjudi. Dirinya tidak menggambarkan seorang intelektual besar yang bersih lahir dan batinnya. Ini tergambar dalam kamar tempat tinggalnya, //Memang kamar seperti dulu kembali//Kulihat kusam sawang pada kisi-kisi//Kulihat bekas hangus, tahi tikus//Kulihat mata kelelawar//Kulihat puntung separuh terbakar//.
Kedatangan Tuhan digambarkan dengan tujuh juta sistem matahari, sebuah kondisi yang tidak mungkin untuk kehidupan manusia. Artinya, betapa hebat pengaruhnya terhadap Gotoloco. Dirinya tidak bisa lagi menggunakan kesaktiannya untuk melawan kekuatan yang maha hebat itu. Lalu, Tuhan menegur Gotoloco yang pandai berdebat itu tetapi tidak menjalankan pengetahuannya dalam kehidupan. Tuhan menjewerya dan Gotoloco yang biasanya tenang dan pandai merasa tidak nyaman dan gelisah oleh kedatangan-Nya. Bahkan karena ketertekanan dan ketakutan, dirinya menyesali kefasihannya kecakapannya dalam berdebat tentang Tuhan, sebab dirasakan sumber ketakutan itu berasal dari kepandaiannya sendiri.

Gotoloco menggambarkan sosok intelektual yang pandai berargumentasi tentang Tuhan, tetapi hal itu tidak lebih untuk membuat dirinya dikagumi oleh orang lain dan bukan semata-mata untuk mengagungkan Tuhan. Gotoloco seperti penjual obat, seorang pendebat tukang memamerkan Tuhan di mana-mana dengan harapan mendapat bayaran dan pengakuan dari masyarakat. Gotoloco adalah seorang riya (Q.S. Annisa 38), yaitu orang yang melakukan perbuatan baik semata-mata hanya untuk mendapat pujian dari orang lain dan bukan untuk mendapat rido Tuhan. Dimana-mana bersilat lidah tentang agama, keagungan Tuhan, kehidupan, dan segala ilmu kebajikan lainnya, tetapi hal itu hanyalah untuk menjatuhkan orang yang didebatnya, untuk mendapatkan upah atas jerih payahnya bicara, untuk kebanggaan dirinya sendiri sekaligus menaikkan nilai diri di hadapan publik. Dengan demikian Tuhan menegurnya, artinya Tuhan tidak suka dan melarang hambanya untuk berlaku demikian. Gotoloco disebut-Nya sebagai orang yang hanya pandai untuk tak mengerti. Maksudnya, Gotoloco memahami semua pengetahuan tentang Tuhan tetapi dia tidak mengerti atau tidak menjalankan apa yang dipahaminya.
Adapun hukuman bagi orang yang seperti Gotoloco terlihat sebagai berikut.

Ya, barangkali aku telah tak peduli selama ini.
Tapi apakah yang Kau kehendaki? Mengembalikan posisiku
pada debu, kembali?

“Tidak. Tapi pada kolong dan kakerlak, pada kitab
dan kertas-kertas dan kepinding yang mati setiap pagi hari.
Padamu sendiri.”

(Goenawan Mohamad, 2001: 67)

Bait di atas menggambarkan kesadaran atau pengakuan Gotoloco yang tidak peduli pada kelakuannya selama ini. Dalam kesadarannya dia mempertanyakan identitas kediriannya, apakah dirinya akan dikembalikan pada semula, yakni pada debu atau pada kematiannya. Dan jawaban Tuhan sebagai konsekwensi atas perbuatannya, yaitu menempatkan Gotoloco di tempat yang tidak nyaman, pada kolong dan kakerlak, pada kepinding yang mati setiap hari. Tuhan juga akan menempatkan Gotoloco pada pikirannya atau kehendaknya sendiri dengan kembali pada kewajiban untuk mempelajari kitab. Artinya Tuhan masih memberi kesempatan kepada Gotoloco untuk memperbaiki diri belajar keras dengan mengkaji kembali kitab-kitab yang selama ini dipahaminya. Dengan demikian, Gotoloco dilarang melakukan perdebatan tentang Tuhan selama dirinya masih riya dan munafik seperti dalam kutipan berikut.

‘Kau tak bisa lagi memamerkan-Ku.”
Aku tak bisa memamerkanMu
Tak bisa berkeliling, seperti penjual obat, seorang pendebat.”
Tak bisa lagi keliling.
“Tak bisa lagi bersuara tengkar dari seminar ke seminar,
memenangkan-Ku, seperti seorang pengacara. Sebab kau hanya
pengembara, yang menghitung jarak perjalanan, lelah tapi
pongah, dengan karcis dua jurusan.”
(Goenawan Mohamad, 2001: 67)

Kutipan di atas selain melarang untuk berdebat kembali tentang Tuhan juga disebutkan bahwa orang yang seperti Gotoloco layaknya seperti pengacara yang selalu memenangkan perkara dengan harapan mendapat upah juga mendapatkan nama yang kian harum. Artinya, ketika hal itu terjadi bandrol harga yang melekat di dirinya semakin naik. Orang yang berlaku demikian disebut juga sebagai pengembara yang pongah yang tidak punya ketetapan hati, yang hanya menikmati perjalanan untuk sekadar menikmati belaka dan siap untuk berjalan ke arah yang tidak pasti atau tidak tetap karena dirinya mempunyai karcis dua jurusan. Gotoloco adalah tipikal manusia riya, yakni berbuat kebaikan hanya untuk dipuji dan dikagumi orang-orang. Dia juga seorang munafik, antara perkataan dengan perbuatan tidak sejalan.

Sesungguhnya sajak ini mengandung sebuah proses pencarian tentang hakikat dan keberadaan Tuhan. Tuhan yang selalu penuh misteri seperti yang dikatakan Gotoloco, Ternyata Kau tetap ingin mengekalkan teka-teki dan mengelak dari setiap ujung argumentasi. Dalam hal ini, apa yang dilakukan oleh Gotoloco yang sering sekali mengatur perdebatan tentang agama dan Tuhan adalah sebuah proses pencarian, sebuah upaya untuk mendapatkan keterangan tentang Tuhan yang sesungguh-sungguhnya, sebuah upaya untuk mendapatkan kesempurnaan mengenai ilmu tersebut. Dirinya menyadari bahwa dia bukan seorang santri atau ahli dalam ilmu agama, tetapi karena selama ini Gotoloco tidak pernah dikalahkan dalam berdebat maka dirinya mengatur sendiri ilmu tentang agama dan Tuhan itu sesuai dengan apa yang diyakini dan dikehendakinya. Kesadarannya timbul tatkala bertemu dengan Tuhan. Pada saat inilah kemahirannya dalam berargumentasi mati, dirinya telah tertaklukan dan mendapat teguran bahkan mendapat semacam hukuman untuk kembali mempelajari kitab-kitab dengan betul dan menjalankannya sesuai dengan perintah-Nya.

Secara simbolis sajak mengungkapkan bahwa orang yang fasih dan luas pengetahuan agamanya bukan jaminan sebagai orang yang patuh dan taat menjalankan perintah Tuhan. Orang yang tampak pandai dan berwibawa dalam urusan agama bukan jaminan bahwa dirinya mulia dan diterima di hadapan Tuhan.

/8/
Secara tekstual sajak “Penangkapan Sukra” mengungkapkan bahwa seseorang yang bernama Sukra ditangkap dan disiksa oleh Putera Mahkota dengan alasan Sukra telah menghina Putera Mahkota. Adapun yang dianggap hinaan oleh Putera Mahkota adalah Sukra telah memamerkan ketampanannya di hadapan masyarakat. Hal ini sama sekali tidak disadari atau tidak merasa dilakukan oleh Sukra. Dalam proses interogasi, dalam tekanan yang hebat secara fisik dan mental, Sukra tetap tidak tahu mengapa dirinya ditangkap oleh Putera Mahkota. Karena tidak mengakui atau tidak mengerti atas apa yang difitnahkan Putera Mahkota Sukra akhirnya disiksa.

Secara kontekstual sajak ini merujuk pada Babad Tanah Jawa seperti bisa dilihat dalam baris di bawah judulnya yakni variasi atas Babad Tanah Jawa. Dalam kisah ini diceritakan Sukra adalah seorang pemuda yang tampan yang masih masuk ke dalam kerabat raja (ibunya adik sang raja). Ketampanannya telah membuat iri putera mahkota (Pangeran Dipati Anom) anak Raja Mangkurat II. Atas dasar itu tanpa sebab yang lebih jelas lagi Sukra ditangkap kemudian disiksa sembari dihinakan dengan kata-kata kotor. Sukra difitnah sebagai pemuda yang suka pamer dan mau menyaingi pangeran. Setelah sembuh dari siksaan, Sukra memendam dendam terhadap Pangeran Dipati Anom. Dirinya mengumpulkan pasukan untuk mengamuk di keraton, namun Sukra masih mencari kesempatan yang terbaik. Akhirnya, dia memutuskan untuk memancing kemarahan isteri Pangeran Dipati Anom (Puteri Lembah) sebagai jalan balas dendam, tetapi justru siasat ini menjadi mengacaukan rencananya karena dia jatuh hati pada puteri, demikian juga sebaliknya dengan puteri tersebut. Kedua orang itu saling jatuh cinta dan saling berhubungan lewat para pengawalnya atau mbannya. Hal ini telah menjadi rahasia umum dan sampai ke telinga Putera Mahkota yang pada akhirnya ketahuan oleh pihak keraton. Puteri dibunuh atas perintah ayahnya (Pangeran Puger) dan Sukra dibunuh atas perintah raja (Mangku Rat II) (Soedibyo, 1980: 313-333).

Sajak ini adalah metafor yang mengungkapkan hubungan raja dengan rakyat atau kekuasaan raja-raja yang bisa berbuat semena-mena terhadap rakyatnya, kekuasaan raja yang absolut. Dalam catatan Moedjanto (1985: 25-30), disebutkan bahwa raja-raja di Mataram adalah pembuat dan pelaksana undang-undang dan hakim sekaligus yang bersifat tiran. Kekuasaan Raja-raja Mataram memberi kesan begitu besar tanpa ada batasnya. Dan kekuasaan itu di mata rakyat begitu besar, sehingga mereka mengakui raja sebagai pemilik segala sesuatu, baik harta benda maupun manusia. Karena itu apapun kehendak raja, rakyat hanya dapat menjawab terserah kepada kehendak raja. Perkembangan ini tampak dalam berbagai kitab, seperti Babad Tanah Jawi, Serat Centini, dan Wulangreh. Dalam Babad Tanah Jawi bisa dilihat dalam pernyataan Pangeran Puger bahwa segala sesuatu di tanah Jawa, bumi tempat kita hidup, air yang kita minum, daun, rumput dan lain-lain yang ada di atas bumi adalah milik raja. Puger juga menyebut raja sebagai wakil, proyeksi, layar atau penjelmaan Tuhan. Dalam Serat Centini raja digambarkan sebagai dalang sejati yang berhak mengatur kehidupan dengan menerima mandat dari Allah. Sedangkan dalam Wulangreh disebutkan bahwa raja adalah penguasa yang bertindak sebagai wakil Tuhan. Tugas raja adalah memelihara tegaknya hukum dan keadilan, dan karena itu semua orang wajib taat padanya, siapa yang berani menentang raja berarti menentang Tuhan. Kekuasaan yang besar ini menjadikan rakyat begitu takut kepada raja. Dalam keadaan demikian orang hanya dapat tunduk merunduk di hadapan raja dan menyembah-nyembah jika bicara dengannya.

Uraian di atas menunjukkan betapa besar kekuasaan raja itu dan sekaligus menunjukkan betapa kecil rakyat yang berada dalam wilayah kekuasaannya. Kebesaran raja itu semakin diakui jika raja menjalankan konsep kekuasaannya dengan diimbangi oleh kewajiban yang dirumuskan dalam “berbudi bawa leksana, ambeg adil para marta” (meluap budi luhur mulia dan sifat adilnya terhadap semua yang hidup, atau adil dan penuh kasih) (Moertono, 1968). Dalam praktiknya, menurut teori Jawa, segala hal itu biasanya dilaksanakan oleh para kerabat dalem raja, para priyayi, dan alat-alat lain seperti bekel, demang, dan seterusnya. Dalam proses ini mereka mendapat bagian, bahkan jika raja lemah justru mereka yang mendapat banyak bagian (Ong Kok Ham, 2004). Hal ini memungkinkan munculnya penguasa-penguasa baru di hadapan rakyat yang kadangkala lebih berkuasa dari raja itu sendiri. Dalam konteks inilah sajak “Penangkapan Sukra” bisa disebut sebagai gambaran kesewenang-wenangan raja terhadap rakyatnya juga sekaligus ketakutan dan ketaatan rakyat terhadap raja.
Pada umurku yang ke-21, aku ditangkap.
….
Apa soalnya? Kenapa aku mereka tangkap tiba-tiba?
Para prajurit itu diam, ketika mataku mereka tutup.
Kuda-kuda bergerak. Aku coba rasakan arah dan jarak. Tentu
saja tak berguna.
(“Penangkapan Sukra”)

Kutipan di atas adalah gambaran seorang rakyat bernama Sukra yang ditangkap oleh putera mahkota tanpa alasan yang jelas. Sukra bertanya kepada para prajurit yang menangkapnya, tetapi semua prajurit diam, tidak ada yang berani menjawab pertanyaan Sukra. Ketika Sukra mendesak lebih jauh lagi tentang alasan penangkapannya, barulah prajurit itu menjawab meskipun jawaban itu bukan jawaban yang dikehendaki oleh Sukra. “Diamlah, Raden, tuan sebentar lagi akan mengetahuinya sendiri.” Jawaban itu adalah tipikal jawaban dari seseorang yang tidak berani atau tidak punya inisiatif untuk mengungkapkan peristiwa karena ada tekanan lebih berat dari atasan. Para prajurit itu hanya alat kekuasaan dalam rangka menjalankan kehendak penguasa. Rajalah yang menentukan segalanya, raja adalah dalang sejati yang berhak mengatur kehidupan dengan menerima mandat dari Tuhan seperti yang terdapat dalam Wulangreh. Karena itu, prajurit itu akan menurut perintah raja, juga Sukra yang disakiti tidak akan berani melawan kehendak raja. Tidak ada yang dapat menyamai tugas melayani raja. Melayani adalah menyediakan diri bagaikan kepingan di samudera, menghanyut ke mana saja dia terbawa (Lombard, 1996:75). Hal ini menunjukkan bahwa pegawai yang baik adalah yang bisa menekan kepentingannya sendiri dan mencurahkan seluruh jiwa raga untuk melaksanakan kewajibannya tanpa memikirkan apakah tugas yang harus dilaksanakan itu baik, karena dalam hal ini titah raja adalah absolut, semuanya baik. Jadi, tidak perlu lagi berpikir tentang baik dan benar jika melaksanakan perintah raja.
Aku pun tahu, setelah itu
tentang nasibku. Malam itu pangeran Putera Mahkota
telah menghunus kehendaknya.
(Goenawan Mohamad, 2001: 92)

Bait di atas menunjukkan bahwa Sukra sebagai rakyat menerima kehendak putera mahkota yang menginginkan kematian dirinya. Bait itu juga menunjukkan alangkah berkuasanya putera mahkota sehingga nasib seseorang bisa berada di genggaman tangannya. Dirinya telah menjelma menjadi Tuhan yang berhak menentukan nasib manusia. Dalam hal ini, kekuasaan raja betul-betul absolut dan tidak menerima alasan apapun kecuali hanya menuruti kehendaknya sendiri. Otoritas penguasa yang sewenang-wenang banyak dijumpai dalam sejarah kerajaan juga di negara-negara modern, seperti Negara Indonesia di zaman Orba. Penguasa selalu diliputi oleh sindrom paranoid, yakni semacam ketakutan dan kecurigaan pada orang-orang yang tidak sejalan dengan kebijakan kekuasaannya atau takut tersaingi dalam berbagai hal.

Sebetulnya alasan terhadap penangkapan Sukra itu sederhana. Putera Mahkota yang jelek rupa dan kaku merasa iri dan terancam oleh kehadiran Sukra yang tampan dan dikagumi rakyatnya. Hal ini menunjukkan bahwa kekuasaan hanya berada di tangan raja, kekuasaan raja bersifat totaliter, kedudukan raja ada di puncak piramida kekuasaan, kekuasaan raja tidak terbagi dan tidak tertandingi. Konsepsi kenegaraan dilakukan dengan tindakan-tindakan yang praktis. Raja menyingkirkan orang atau golongan yang bisa dianggap menandingi diri atau kekuasaannya. Moeldjanto (1980) memberi contoh tindakan kesewenangan itu pada kehendak Mangku Rat I (1646-1676) yang melenyapkan Pangeran Alit, serta membunuh sebagian besar ulama. Sultan Agung menundukkan Surabaya dan Giri (keduanya wilayah wali), dan tindakan Mangku Rat II (1677-1703) memusnahkan Giri dan beberapa contoh lainnya, bahkan dalam Babad Tanah Jawa Mangku Rat II membunuh seseorang yang rajin bertapa dan tidak dekat dengan keraton karena disinyalir orang yang bertapa itu menghendaki kekuasaan dan kedigjayaan. Sikap penguasa yang demikian itu tidak hanya berlaku pada penguasa yang tradisional tetapi berlaku juga pada penguasa modern. Presiden Soekarno pernah memenjarakan orang-orang yang dianggap menentang kekuasaannya, bahkan lebih parah lagi di zaman Orde Baru, Presiden Soeharto menculik dan membunuh orang-orang yang dianggapnya membangkang atau tidak sejalan dengan kebijakannya, tidak terhitung pula pelarangan-pelarangan terhadap pementasan, buku-buku, nyanyian yang mempunyai kecenderungan memprotes kebijakan penguasa. Dalam sekala yang lebih besar, Amerika Serikat (Barat) selalu mencurigai ideologi Islam yang dianggapnya sebagai teroris dan mengancam perdamaian dunia, demikian juga sebaliknya, negara yang berideologikan Islam menganggap barat sebagai setan yang jahat dan perlu dimusnahkan. Karena itu, kekuasaan selalu bersaing dan selalu beritikad untuk saling menundukkan atau saling melenyapkan terhadap orang atau golongan yang tidak sejalan. Singkatnya, kekuasaan selalu melahirkan kecurigaan-kecurigaan yang berlebihan atau paranoid terhadap siapapun yang ada di sekitarnya. Kekuasaan selalu diliputi oleh ketakutan akan ancaman-ancaman yang hendak menggulingkannya.
Sikap kesewenangan penguasa terhadap rakyatnya dapat dilihat dalam interogasi yang dilakukannya terhadap saingannya atau orang yang tidak dikehendakinya. Berikut adalah tekanan-tekanan Putera Mahkota terhadap Sukra juga jawaban Sukra atas pertanyaan itu.
“Tahukah kau, Sukra, kenapa kau kuperintah dibawa kemari?”
(Suara-suara senjata berdetak ke lantai)

“Tidak, Gusti.”
“Kausangka kau pemberani?”

Aku tak berani. Mata Putera Mahkota itu tak begitu nampak,
Tapi dari pipinyayang tembam kurasakan geram saling mengetam,
Mengirim getarnya lewat bayang-bayang.

Suara itu juga seperti bayang-bayang.

“Kau menantangku.”

Kuku kuda terdengar bergeser pada batu.

“Kau menghinaku, kaupamerkan ketampananmu, kauremehkan
aku, kaupikat perempuan-perempuanku, kaucemarkan
kerajaanku. Jawablah, Sukra.”

Malam hanya dinding
Berbayang-bayang lembing

“Hamba tidak tahu, Gusti.”

Bulan lumpuh ke bumi
Sebelum parak pagi

“Pukuli dia, di sini!”

Duh, dusta yang merah
Kau ingin cicipi asin darah

“Masukkan semut ke dalam matanya!”

Seluruh Kartasura tak bersuara
(Goenawan Mohamad, 2001: 92-93)

Kutipan di atas setidaknya menunjukkan dua hal yaitu kekuasaan penguasa yang otoriter terhadap rakyatnya dan kelemahan atau ketidakberdayaan rakyat di hadapan rajanya. Seperti disebutkan di muka, tugas raja adalah memelihara tegaknya hukum dan keadilan, karena itu semua orang wajib taat padanya, siapapun yang melawan berarti menentang Tuhan. Pertanyaan pertama yang diajukan Putera Mahkota dalam sajak di atas, (“Tahukah kau, Sukra, kenapa kau kuperintah dibawa ke mari?”), adalah pertanyaan yang menghendaki dua jawaban pasti yang berlawanan yaitu ya dan tidak. Pertanyaan itu selain dengan tekanan yang tegas juga diiringi oleh ancaman kekerasan yakni dengan adanya suara-suara senjata yang berdetak di lantai. Dengan demikian penguasa menghendaki jawaban yang sesuai dengan keinginannya, jika tidak maka ancaman yang lebih keras akan segera diperlihatkan. Begitu pula dengan pertanyaan-pertanyaan berikutnya, semua menghendaki jawaban yang pendek, yang sesuai dengan keinginan penguasa juga dilatari oleh ancaman yang merujuk pada kekerasan fisik dan merupakan alat kekuasaan.

Rakyat adalah milik raja karena itu raja bebas memperlakukannya sesuka hatinya, raja menghendaki jawaban yang sesuai dengan keinginannya dan jika itu tidak tercapai maka raja seolah berhak atas nasib rakyatnya. Pada akhirnya, karena Sukra tidak menjawab seperti yang dikehendaki raja maka dirinya disiksa dan dihinakan dengan tanpa diberi kesempatan untuk melawan sedikit pun. Jawaban Sukra adalah jawaban yang ambigu dalam ketakutan. Sukra tidak berani dan ini menunjukkan kelemahan rakyat di hadapan raja, Sukra mengikuti apa yang dikehendaki penguasa meski dirinya tidak melakukan apa yang dituduhkan oleh raja. Dan seluruh rakyat tidak ada yang berani membela Sukra meskipun Sukra merupakan seorang pemuda tampan yang dibanggakan dan banyak dikagumi rakyat Kertasura, mereka selamanya tidak akan berani menentang raja.
Secara simbolis sajak ini mengungkapkan ekspresi kekuasaan dan kebuasaan penguasa dalam menjalankan pemerintahannya. Sajak ini juga mengungkapkan kelemahan dan ketundukan rakyat pada penguasa.

/9/
Seperti yang saya tulis di bagian awal bahwa sajak “Di Muka Jendela” adalah nada awal yang menggambarkan sajak-sajak yang kemudian ditulis. Bukan saja nadanya, tetapi sebagaimana jendela dia punya ruang di dalamnya dan sesuatu yang berada di luarnya. Sebagai penyair, Goenawan selalu berada di muka jendela itu, dia memandang sekitarnya yang begitu dekat sampai ke yang begitu jauh lantas masuk ke dalam ruang dan menuliskan sesuatu yang dilihat dan dirasakannya. Begitulah seterusnya, segala yang dipandang dari depan jendela itu dimunculkan kembali dalam dunia yang baru, sebuah dunia yang mungkin.
Saya membayangkan Goenawan yang terus saja berada di sebuah ruang di mana dari jendelanya yang selalu terbuka memandang segalanya dengan hati yang nyaris gigil mengharapkan sesuatu yang dirindukannya. Saya membayangkan Goenawan menulis sajak di ruang tersebut lantas memandang kembali ke luar jendela yang jauh, lantas menulis lagi dengan segala kerinduannya yang jauh sehingga nada-nada dalam sajak itu selalu hampir murung namun juga penuh kelembutan. Saya juga membayangkan Goenawan tidak akan pernah berhenti menulis selama dari depan jendela itu dia memandang bukit yang jauh, laut yang ombaknya senantiasa terbantun, pohon-pohon yang berbagi dingin, perempuan dalam telanjang dini hari, gerimis telah jadi logam, rumah-rumah yang kusut, malam hari yang sedikit bergerimis, teriakan sepasukan tentara juga jeritan-jeritan itu, peta, nasib, perjalanan dan peperangan yang tak semuanya disebutkan. Saya membayangkan seperti dalam sajak yang ditulis paling akhir dalam antologi ini, dia masih terus memandang, mengamati sesuatu yang ada di dekatnya, yang ada di jauhnya.
Malam seperti gagu. Di depan jendela kereta ke timur itu
Ia mulai dengar
Nafas lelahnya sendiri
(Tentang Kembang, Goenawan Mohamad)

Saya membayangkan di luar jendela, seekor burung mencuri pandang// ke batas lain dari dahan,// dan menemukan langit,// ruang yang jauh, yang tak punya beda.// 60 tahun. 70 tahun.// Saya membayangkan jendela itu begitu pelan dan angkuh menutup, tapi jendela itu masih terbuka.

Sumedang, 16 September 2011

DAFTAR PUSTAKA
Beauvoir, Simone de. 2003. The Second Sex. Kehidupan Perempuan. (terjemahan). Surabaya: Pustaka Promethea
Beauvoir, Simone de. 2003. The Second Sex. Fakta dan Mitos. (terjemahan) Surabaya: Pustaka Promethea
Casirerr, Ernest. 1987. Manusia dan Kebudayaan: Sebuah Esei tentang Manusia.. Jakarta: Gramedia
Hae, Zen (penyunting). 2010. Dari Zaman Citra ke Metafiksi. Bunga Rampai Telaah Sastra DKJ. Jakarta. KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Herusatoto, Budiono dan Digdoatmadja, Suyadi. 2004. Seks Para Leluhur. Yogyakarta: Tinta
Kristianto, Eddy. 1983. “Suluk Gotoloco” dan Mistik. Basis. Volume 32, 1983. Yogyakarta
Kleiden, Leo. 1997. Teks,Ceritera, dan Transformasi. Jurnal Kebudayaan Kalam No. 10. Jakarta
Lombard, Denys. 1996. Nusa Jawa:Silang Budaya, Kajian Sejarah Terpadu. Jakarta: Gramedia
Maziyah, Siti. 2005. Kontroversi Serat Gotoloco. Yogyakarta: Warta Pustaka
Moeldjanto,G. 1985. KonsepKekuasaan Jawa dan Penerapannya oleh Rajaraja Mataram. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Moertono, Soemarsaid. 1985. Negara dan Usaha Bina Negara di Jawa Masa Lampau (Studi Tentang Masa Mataram II, Abad XVI Sampai XIX. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Mohamad, Goenawan. 2005. Setelah Revolusi Tak Ada Lagi. Jakarta: Pustaka Alfabet
Mohamad, Goenawan. 1999. Catatan Pinggir 4. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti
Napiah, Abdul Rahman. 1994. Tuah Jebat dalam Drama Melayu Satu Kajian Intertekstualiti. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Pendidikan Malaysia
Ong Hok Ham. 2004. Dari Soal Priyayi Sampai Nyi Blorong: Refleksi Historis Nusantara. Penerbit Buku Kompas. Jakarta
Parrinder, Geoffrey. 1996. Teologi Seksual (terjemahan oleh Amirudin dan Asyabudhin). Yogyakarta: LKIS
Pendit, Nyoman S. 2005. Mahabharata. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Pendit, Nyoman S. 2005. Bharatayudha. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Pendit, Nyoman S.2006. Ramayana. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Pradopo, Rahmat Djoko.2003. Pengkajian Puisi.. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Ricoeur, Paul. Hermeneutika Ilmu Sosial (terjemahan oleh Muhamad Syukri). Yogyakarta: Kreasi Wacana
Shihab, M. Quraish. 2006. Membumikan Alquran. Bandung: Mizan
Sudibyo (ed). 1980. Babad Tanah Jawi (terjemahan). Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Susetya, Wawan. 2007. Bharatayuda. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Teeuw, A. 1987. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya
Teeuw, A. 1983. Tergantung Pada Kata. Jakarta: Pustaka Jaya