Ketika kita berniat menonton sebuah pertunjukan Teater, biasanya yang terbersit dibenak adalah sebuah pertunjukan diatas panggung, baik itu panggung prosenium ataupun panggung arena. Pertunjukan dengan segala aspek pemanggungan yang sudah di konsep oleh sutradaranya sebagai sebuah pertunjukan yang biasanya tidak bersinggungan secara langsung dengan penontonnya. Korelasi itu akan semakin jelas terlihat terutama ketika pertunjukan itu dilakukan dipanggung prosenium dengan konsep teater Barat. Pertunjukan teater Tradisi dengan panggung arena masih menyisakan hubungan interaktif antara pertunjukan dengan penontonnya. Interaksi langsung itu terjadi karena begitu akrabnya penonton dengan pertunjukannya. Mereka bisa langsung saling respon. Tetapi toh interaksi itu hanya sebatas interaksi yang berhubungan dengan isi pertunjukan. Penonton dan pertunjukan tetap berada di tempatnya masing-masing. Framing pertunjukan biasanya tanpa disadari tetap terjaga dari awal sampai pertunjukan selesai. Lalu bagaimana bila seorang sutradara mencoba menggabungkan konsep tradisi dan modern menjadi sebuah pertunjukan ?

Ibed Surgana Yuga dari Seni TEKU Jogjakarta sudah melakukan hal itu. Dalam pertunjukannya KINTIR di ruang terbuka TAMAN ISMAIL MARZUKI tanggal 18 Juni 2010 lalu, Ibed menggabungkan kedua konsep, tetapi sekaligus menghancurkannya kembali.

Konsep teater modern jelas terlihat dari akting dan penyampaian dialog para pemainnya yang sangat verbal dan realis. Sementara ciri khas teater tradisi terlihat dari kebersahajaan pertunjukannya. Pertunjukan begitu akrab dengan penikmatnya. Saking bersahajanya, sampai-sampai penonton tidak lagi menyadari frame yang biasanya ada dalam pertunjukan. Penonton bebas menentukan angle nya masing-masing karena adegan bisa dengan sangat liar berpindah-pindah dari satu lokasi ke lokasi lain dalam waktu cepat.

Disini awalnya penonton dibuat terkejut dan bingung. Kesan ngerepotin pun sempat terlintas dalam benak saya. Tetapi lama kelamaan penonton pun bisa menikmati dan mulai merasa enjoy dengan pertunjukan. Ternyata asyik juga terlibat langsung dalam “satu panggung” dengan sebuah pertunjukan. Penonton merasa seolah-olah merupakan bagian dari pementasan yang seperti “bukan pementasan” itu. Mereka harus selalu siap dan waspada akan perubahan acting area para pemain yang bisa saja tiba-tiba terjadi dibelakang mereka. Sungguh sebuah suspen yang mengasyikan.

Ini memang konsep yang ditawarkan Ibed pada pementasannya. Konsep yang mengakrabi ruang terbuka sebagai media ekspresi ini memanfaatkan sebagian besar ruang terbuka dibelakang bioskop twenty one itu. Jadi pertunjukan ini bukan hanya akrab dengan penontonnya semata, seperti halnya teater tradisi, tetapi juga dengan ruang terbuka sebagai setting nya.

Itu sebabnya kenapa saya bilang tadi Ibed menggabungkan konsep tradisi dan modern lalu menghancurkannya kembali. Ibed sudah mengakomodasi kedua konsep itu dalam karyanya, tetapi pemanfaatan ruang terbuka sebagai setting panggung itu seperti sebuah “pemberontakan” Ibed terhadap ke dua idiom tadi. Ibed bermain di ruang liminal yang disisakan panggung tradisi dan modern. Pemanfaatan ruang liminal itu cukup sukses dimainkan oleh Seni TEKU. Karena walaupun mereka bermain di area yang tidak lazim, toh penyampaiannya tidak gelap. Itu juga terjadi pada setiap karakter perannya. Semua aktor memainkan multi casting tetapi nyaris tidak membuat penonton bingung. Itu karena dialog dan akting para pemainnya sangat verbal dan mudah dimengerti.

Sebelum pentas dimulai cuaca sebetulnya kurang bersahabat. Mendung pertanda hujan sepertinya akan segera turun. Saya berfikir apakah penonton akan bertahan kalau hujan benar-benar turun ? Dan memang ditengah pentas hujan turun dengan derasnya. Tetapi karena penonton sudah terhipnotis dengan pertunjukan, mereka tetap setia menyaksikan meskipun harus bersusah payah menghindar dari kebasahan.

Dalam diskusinya Ibed mengakui bahwa dia dan teman-temannya sebetulnya memang mengharapkan hujan datang. Dan baru pentas di Jakarta inilah hujan yang diharap-harapkan benar-benar turun. Ibed bilang bahwa dengan adanya hujan itu akan semakin mendukung konsep peng akraban lingkungan nya.

Seperti kata Halim H.D dalam booklet pertunjukan “Pilihan terhadap ruang terbuka itu sungguh sebuah keberanian di antara begitu banyak teater yang terperangkap dalam berbagai bentuk estetika ruang yang kian menghimpit dan membekukan diri mereka”. Disini Seni TEKU sudah berhasil “membebaskan dirinya” dari kemungkinan terperangkap dalam berbagai bentuk estetika. Mereka berhasil membebaskan diri dengan cara yang sangat sederhana dan bersahaja. Ketika pertunjukan sudah berhasil memikat hati penonton, maka teks yang ditawarkan sudah tidak terlalu penting lagi. Penonton tidak lagi memikirkan apakah ini cerita tentang Epos Mahabarata atau cerita tentang anak-anak dari kampung miskin. Mereka cukup bertanggung jawab dengan menyajikan cerita yang tidak membuat penonton bingung sampai mengernyitkan dahi memikirkan apa maksud pertunjukan. Seni TEKU adalah group kaum Intelektual yang “tidak terlalu sibuk” dengan ke intelek tualan mereka. Justru ke intelektualan itulah yang membantu mereka berfikir kreatif menyajikan wacana baru dalam jagad teater Indonesia. Pentas mereka adalah faktanya. Pentas “anak sekolahan” yang dilakukan “di panggung sebenarnya”. Dunia ini panggung sandiwara.

(Hestu Wreda / Foto : Eva tobing/DKJ)