Menurut Diana Taylor, bisa diandaikan satu di antara perbedaan arsip dan repertoar adalah sifat transmisi pengetahuan dimana arsip lebih bersifat objektif dan kebal terhadap waktu, sementara repertoar memiliki transmisi pengetahuan yang bersifat subyektif dan memerlukan partisipasi. Tidak heran pelembagaan arsip adalah hal yang paling kental dengan kesakralan aparatus penyimpanannya dan penuh otoritas, bahkan ‘rahasia’ karena andaian dari pengetahuan di masa lalu yang kebal terhadap waktu. Berbeda dengan repertoar, karena basisnya adalah tubuh dan peristiwa pertunjukan, maka ia justru lebih terbuka karena status ontologisnya membutuhkan partisipasi para penonton untuk proses transmisi pengetahuannya. Arsip lebih bersifat material (dokumen, foto dan materi reproduksi lainnya), yang tentu saja pengawetannya juga bagian motif objektif dan kebal terhadap waktu. Sementara repertoar bersifat tubuh dan peristiwa yang tentu status ontologisnya selalu tumbuh seiring waktu dan proses transmisi pengetahuannya pun juga turut tumbuh seiring waktui. Dalam pandangan kontemporer, kedua transmisi pengetahuan ini merupakan akses terhadap masa lalu, yang tentu saja karena pengaruh modernitas yang cukup kuat, banyak publik bahkan publik akademik lebih mengandaikan arsip yang material sebagai satu-satunya transmisi pengetahuan terhadap masa lalu.

Program “Di Tepi Sejarah” oleh Titimangsa dan KawanKawan Media bekerjasama dengan Direktorat Perfilman, Musik dan Media, Kemendikbudristek mengadakan program pertunjukan monolog yang mengangkat tokoh-tokoh yang dianggap tersisih dalam catatan besar sejarah bangsa namun menjadi bagian dalam peristiwa-peristiwa penting yang terjadi di Indonesiaii. Program yang cukup menarik ini secara tidak langsung juga memberikan semacam sejarah alternatif karena mengangkat tokoh-tokoh alternatif atau berangkat dari figur-figur yang mungkin tidak dikenal oleh generasi di masa sekarang namun penting dalam perjalanan kebangsaan Indonesia.

Pertunjukan monolog program “Di Tepi Sejarah“ kali ini mengangkat tema yang cukup menarik karena mengangkat tokoh populer di dunia musik Indonesia, ‘Gombloh’ (Soedjarwito, 1948-1988) berjudul “Panggil Aku Gombloh”. Tokoh Gombloh membawa subyek yang menarik, karena sebagai tokoh yang kaitannya dengan program pertunjukan monolog “Di Tepi Sejarah”, terkait dengan pemilihan sebagai status tokoh alternatif. Sebagai sebuah praktik repertoar, program ini memiliki peluang sebagai sebuah proses transmisi pengetahuan terhadap masa lalu bangsa, selain mengangkat tokoh alternatif, juga program berupa rangkaian repertoar tentang para tokoh di masa lalu ini merupakan proses transmisi pengetahuan yang lebih kreatif dan partisipatif sebagai mana disebutkan dalam sifat pengetahuan repertoar itu sendiri.

Sebagai tokoh yang dikenal pada periode 1980-an, Gombloh bisa ditafsirkan sebagai sebuah ‘sejarah dekat’ karena secara periode tahun belum terlalu jauh, selain juga banyak kesaksian dan transmisi pengetahuan tentang Gombloh yang bersifat oral atau dari mulut ke mulut dimana kesaksian terhadap tokoh yang populer dikalangan masyarakat bawah tersebut masih banyak sumber kesaksian yang masih hidup hingga hari ini. Sifat oral dalam nasari Gombloh ini bisa dikatakan sebagai sejarah publik, ketimbang sejarah akademik, karena sumber pengetahuan terhadap Gombloh yang sangat personal, dari mulut ke mulut, selain juga sejarah publik mengandaikan bukan sebagai narasi-narasi besar dan bersumber dari warga atau publik sendiri. Dan memang demikian, belum ada kajian akademik seputar Gombloh sebagai sebuah sejarah. Perbincangan membuat dikotomi antara sejarah publik dan sejarah akademik ini, menjadi penting karena memiliki implikasi dan konsekuensi penting dari berbagai pertunjukan monolog yang dimungkinkan dari pementasan “Panggil Aku Gombloh”. Selain pada tulisan ini juga akan mencoba menyandingkan “Panggil Aku Gombloh” dalam kerangka paradigma arsip dan repertoar sebagai proses transmisi pengetahuan tentang masa lalu.

Menonton pertunjukan monolog “Panggil Aku Gombloh”, seakan menonton pertunjukan monolog tentang biografi tokoh lainnya, setidaknya status tokoh ‘Gombloh’ yang seakan ‘netral’ sebagaimana tokok-tokoh formal lainnya, semantara kekayaan dari para individu yang diangkat ke dalam sebuah narasi apalagi performatif adalah memiliki keragaman realisme di dalam milieu-nya sendiri. Ini seperti kaidah sejarah akademik yang bersifat objektif, sementara tokoh Gombloh sendiri sebenarnya tokoh populis yang pengetahuannya bisa banyak digali dari pengelaman-pengelaman perjumpaan dari para kesaksiaan perjumpaan pada Gombloh yang masih hidup. Justru nilai keunikan Gombloh sebagai tokoh, sebenarnya memiliki potensi untuk menghadirkan masa lalu yang lebih bersifat publik karena status ketokohannya yang non formal dan banyak dikenal di kalangan publik dalam kesehariannya. Dalam konteks ini, sumber dan realisme Gombloh setidaknya bisa dibangun berdasarkan realitas-realitas keseharian dan sumber publik yang lebih intim, dimana pendekatan ini juga akan mempengaruhi bagaimana sebuah strutur dan pendetakan pertunjukan monolog dibikin berdasarkan sumber subyek tokoh yang diangkat. Sebagai sebuah program pertunjukan tentang sejarah tokoh alternatif, pendekatan-pendekatan yang diambil dalam naskah monolog “Panggil Aku Gombloh” sebenarnya masih berkutat dari pendekatan narasi yang tidak alternatif. Sementara pilihan tokoh Gombloh sendiri bisa memiliki peluang bukan saja sebagai tokoh alternatif dalam sejarah kebangsaaan, namun juga didalamnya mengandaikan sebuah pendekatan sejarah alternatif, yang dalam hal ini sejarah publik sebagai sebuah pendekatan yang turut juga mempengaruhi pendekatan monolog “Panggil Aku Gombloh” di dalam program “Di Tepi Sejarah”.

Sejarah publik sendiri bisa dibedakan dengan sejarah akademik. Pengertian sumber sejarah di dalam sejarah publik tidak lagi merujuk dalam pengertian yang objektif dan absah sebagaimana di dalam sejarah akademik atau sains sosial. Sejarah publik sebagai bagian dari usaha mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dalam merumuskan sejarahnya sendiri, juga bisa melibatkan sumber-sumber berupa ‘memori’, mitos, atau hal-hal yang berupa dokumentasi dan arsip yang berlangsung pada warga. Bahkan, sumber dari sejarah publik, bisa jadi tidak lagi pada pengertian sejarah yang berisikan kronologis yang objektif dalam dokumen-dokumen sejarah, namun juga bisa melibatkan tradisi, atau hal-hal yang sensori (suara, bau, gerak, dan seterusnya) sebagai sebuah kesaksian. Berbeda dengan sejara publik di mana warga menjadi subyek dan sumber sejarah, sejarah akademik adalah sejarah yang biasa kita kenal, dimana sejarah tersebut berasal dari para akademisi, objektif, dan lebih dominan menggunakan bahan-bahan yang bersifat material arsip (dokumen, foto dan lain sebagainya), dan pengertian warga hanya menjadi objek dari sumber sejarah. Menurut Restu Gunawan, hakikat dari sejarah adalah masyarakat. Artinya, masyarakatlah pendukung sejarah untuk terus berkembang. Jika masyarakat hanya sebagai obyek, maka di situlah sebenarnya sejarah akan berjarak dengan pemiliknyaiii

Mungkin bisa dibayangkan tegangan antara sejarah akademik sebagaimana pengertian arsip sebagai transmisi pengetahuan, dimana tegangan antara sifat material dari arsip yang objektif, tetap dan kekal terhadap waktu, transmisi pengetahuan repertoar sebagaimana kesaksian-kesaksian warga di dalam sejarah publik yang sebenarnya juga kesaksian oral tersebut selalu bersifat ‘tidak kekal’ (ephemeral). Kesaksian selalu bersifat performatif karena sifat ‘kebersituasian’, ‘di sini’ (sekarang) dan ‘di sana’ (masa lalu) yang selalu serentak, yang berbeda dengan pengertian arsip yang selalu ‘mengekalkan waktu’ masa lalu. Program “Di Tepi Sejarah” pada pertunjukan monolog “Panggil Aku Gombloh”, sebenarnya memiliki potensi besar untuk menjadikan pendekatan sejarah publik, selain sifat repertoar sebagai transmisi pengetahuan terhadap tokoh di masa lalu. Namun dramaturgi dari pertunjukan tersebut masih mengandaikan semacam kaidah-kaidah akademis, seperti struktur kronologis peristiwa, dimana dari pertunjukan tersebut juga diakhiri oleh adegan kematian dari tokoh Gombloh, atau bahkan struktur narasi kelahiran di awal pertunjukan yang terkesan untuk ‘objektif’ (sebagaimana struktur biografi para tokoh di dalam sejara akademik). Sebagaimana dinyatakan di atas, sumber-sumber dari keberadaan Gombloh yang populis sendiri lebih banyak nilai informasi dan pengalamannya dari sumber-sumber oral kesaksian publik yang masih hidup. Sejauh ini, memang Gombloh barangkali belum menjadi sejarah akademik, namun yang terpenting adalah bagaimana pendekatan dramaturgi sejarah publik sebagai sebuah pendekatan monolog yang berbeda dengan sejarah akademik. Tentu saja kesaksian publik juga ada yang sudah di kodifikasi dan dimaterialkan sebagai arsip, sebagai sumber sejarah, namun bagaimana semangat dari watak performatif bisa kita ambil dari sumber-sumber yang material. Banyak lapisan yang bisa kita refleksikan dari pertunjukan monolog “Panggil Aku Gombloh”, namun dalam tulisan ini sekadar melihat bagaimana perspekti sejarah, khususnya kemungkinan sejarah publik yang berasal dari subyek yang diangkat yang secara langsung sebenarnya bisa mempengaruhi konsep pertunjukan monolognya itu sendiri.

Oleh Akbar Yumni (Produser Bandar Teater Jakarta)

i Diana Taylor, Lihat The Archive and The Reportoire; Cultural Memory and Performance in The America, Duke University Press, 2003: Hlm. 16-20

ii Lihat berita “Panggil Aku Gombloh, Pentas Di Tepian Sejarah Musim Kedua”, https://www.liputan6.com/citizen6/read/4951302/panggil-aku-gombloh-pentas-di-tepi-sejarah-musim-kedua, (diunduh pada 8 Mei 2022, Pukul 15.35).

iii Gunawan Restu, “Sejarah Publik dan Media Sosial”, Kompas 6 Desember 2015