TEMPO Interaktif, Jakarta – Ahad (5/12) malam lalu, Teater Luwes Institut Kesenian Jakarta kembali menampilkan para maestro tari tradisional dari sejumlah daerah di Tanah Air. Kali ini, dalam pertunjukan bertajuk Maestro! Maestro! 3, tampil maestro tari tradisional Kutai Barat, Kutai Timur, dan Bali.

Dari Bali, misalnya, tampil I Nyoman Catra. Ia membawakan tari topeng Pajegan. Dalam masyarakat Bali, tari topeng Pajegan dilakonkan oleh seorang penari yang memainkan sejumlah karakter topeng. Dalam pertunjukan kali ini, Catra memainkan tujuh karakter topeng.

Catra memulainya dengan topeng Keras yang menggambarkan watak keras dan tegas. Setelah itu, ia berganti rupa dengan memakai topeng Tua. Seluruh karakter topeng menggambarkan alur kehidupan saat muda, tua, dan pada akhirnya purna yang digambarkan oleh topeng Sidakarya. Di sela ketiga topeng utama tadi, Catra melakonkan beberapa topeng yang menggambarkan problematik kehidupan. Seperti topeng Penasar ataupun Raja Dalem.

Tari topeng Pajegan sebetulnya terkait erat dengan upacara keagamaan. Hadirnya topeng Sidakarya yang memiliki rupa sebagai seorang pendeta pada akhir pertunjukan menjadi sangat penting. Melalui topeng ini, penari melakukan ritual yang menjadi bagian yang tak terpisahkan dari pelaksanaan upacara tersebut.

Topeng-topeng ini adalah figur leluhur dengan perwatakan yang dipersonifikasikan dalam wajah topeng. Bahkan, dalam upacara keagamaan tersebut, pergelaran semacam ini ditujukan untuk menetralkan kekuatan jahat (butha) yang mengganggu ketenteraman manusia menjadi sifat baik (dewa).

Lalu maestro tari tradisional dari Kalimantan Timur, Amay Pelenjau, menyuguhkan tari Kanjet Lasan. Tarian ini sebetulnya tari ritual yang biasa digelar sebelum dan sesudah perang oleh suku Dayak Kenyah, Kutai Timur. Gerakan tariannya sangat halus. Bahkan sesekali penari meneriakkan sesuatu untuk mendobrak semangat dan keteguhan prajurit perang.

Tentu, karena tari tersebut adalah sambutan untuk perang, Amay Pelenjau menyertakan mandau (senjata tradisional suku Dayak), pedang perang, dan tameng dalam tariannya. Namun, sesuai dengan perkembangan zaman, saat ini tari Kanjet Lasan tak lagi sebagai ritual. Tarian itu telah bergeser menjadi tontonan saja.

Tak kalah menarik, penari cilik Deplin Aprillia Bertho juga turut serta unjuk tampil dalam panggung para maestro tari ini. Penari berusia 7 tahun ini menarikan tari Tengen yang menggambarkan gerakan lembut burung enggang. Sebelumnya dilantunkan syair atau Ngendau khas suku Dayak Kenyah.

Selain itu, ada tari Berlian Sentiyu dari Kutai Barat. Tarian yang dibawakan oleh A. Renon ini sebetulnya adalah ritual pengobatan. Kemampuan ini diwariskan oleh leluhur secara turun-temurun kepada dukun pengobatan yang mereka sebut pebelian. Mereka berkomunikasi dengan alam dan roh halus dalam proses pengobatan itu. Dengan memberikan aneka ragam sesaji sebagai imbalan untuk roh, sejumlah penyakit dapat disembuhkan.

Tentu, pada pentas malam itu, Renon tak sepenuhnya melakukan ritual pengobatan. Gerakan tari dinamis disertai gemerincing lonceng yang dipasang di kedua kaki penari. Bunyi yang dihasilkan lonceng tersebut berbeda-beda untuk menandai gerakan yang berbeda pula. Klimaks dari tarian tersebut ketika penari berputar-putar dengan sangat cepat.

Begitulah. Pertunjukan para maestro tari dari Indonesia itu digagas oleh Dewan Kesenian Jakarta. Dua pekan lalu, di tempat yang sama juga telah dipertunjukkan tujuh maestro tari dari Makassar, Aceh, dan Bali.

Dewan Kesenian memberi apresiasi tinggi kepada para maestro tersebut. “Gagasan ini cukup lama disiapkan. Yang penting kita masih bisa melihat tradisi kita,” ujar Dedy Luthan, Ketua Komite Tari Dewan Kesenian.

ISMI WAHID/Foto : Eva Tobing/DKJ