oleh Wahyu Kris

“Pada mesin jahit mamaku, tersimpan perjuangan, jejak penderitaan bagi kelima anaknya. Kenangan lampu petromaks dalam gulita.”

Charles Djalu menuliskan kalimat di atas pada salah satu karya rupanya untuk mengekalkan sosok ibu. Kebersamaan dengan ibu adalah cerita menyerupai kain perca. Ada lembaran tak beraturan. Ada warna gelap bertindihan dengan terang. Ada bentuk geometris bersanding dengan garis lengkung. Perca menjadi cerita ketika tangan lembut ibu membaringkannya di atas mesin jahit.

Mesin jahit menyimpan banyak cerita tentang gerak. Kaki berayun menggerakkan pedal. Pedal memutar roda bawah yang kemudian berpindah ke roda atas lewat pengikat. Gaya putar roda menggerakkan jarum naik turun. Memilin benang dengan benang sekoci yang diam- diam juga bergerak meski tak tampak. Jadilah pakaian sebagai penggerak pencaharian. Begitulah kehidupan hanya menghargai mereka yang berani bergerak.

Cara mesin jahit bergerak sejatinya senafas dengan kebajikan lisan obah ora owah, bergerak tapi tak berubah. Mengikuti gelombang zaman tapi tidak hanyut dalam arus deras hiruk pikuknya. Seperti rerumpun bambu yang mengikuti embusan angin, meliuk tapi tak takluk. Manusia mesti bergerak karena hakikat manusia adalah homo ludens, mahkluk penggerak permainan.

Barangkali, hakikat gerak semacam itulah yang menggerakkan Charles Djalu terus berkarya. Karya rupa Djalu nyaris semuanya adalah cerita tentang gerak. Rupa-rupa garis dibiarkan bergerak mengaliri bidang gambar. Sebagian memotong bentuk-bentuk abstrak hingga berhamburan, berpencaran ke beberapa arah. Terkadang garis-garis itu enggan bergerak. Ia hanya bergerak pendek lalu berhenti.

***

Saya menjumpai Djalu di rumahnya pada Sabtu pagi. Cukup tergelitik melihat dinding rumah seorang perupa nyaris tanpa karya rupa. Yang berlimpah justru buku-buku. Secangkir kopi dan beberapa potong roti menghangatkan percakapan kami.

“Siapa ya?” Itulah jawabannya ketika saya bertanya tentang sosok perempuan dalam beberapa karyanya. Bagi Djalu, setiap perempuan adalah ibu dan ibu adalah sosok yang tak pernah berhenti bergerak. Bahkan dalam setiap geraknya, ibu menjelma alasan sekaligus tujuan bagi setiap gerak anak-anaknya.

Karya rupa Djalu tak pernah secara spesifik merujuk satu nama perempuan. Bahkan ketika mengabadikan sang mama, Djalu tak menggerakkan goresannya ke arah yang menyerupai sosok ibu. Ia justru menonjolkan mesin jahit.

Djalu mengeluarkan karya rupa bermedia kertas dari koper. Jumlahnya lebih dari lima puluh dengan ukuran A3. Kami memilah karya-karya yang dihasilkannya sebelum dan sepanjang masa pandemi. Pemilahan ternyata agak susah karena Djalu tidak terbiasa menuliskan titi mangsa pada karya. Beruntung ia masih punya daya ingat cukup baik.

Dari puluhan karya rupa sebelum pandemi, serial pisang tampak menonjol. Ukurannya sedikit lebih kecil, 25 x 30 cm. Serial pisang karya Djalu beragam tapi mengambil nafas yang sama yaitu gerak. Pisang di tangan Djalu bertransformasi menjadi simbol gerak dengan segala macam elemen latar di belakangnya.

Salah satu suasana yang melatari pisang bergerak adalah langit kota. Sapuan abu-abu membekap gedung yang berdiri membeku. Empat tali terjulur dari langit mengikat papan dimana pisang sedang rebahan. Namun, pisang rebahan itu menolak kenyamanan. Ia tetap bergerak mendekati langit biru, mengayun mengatasi kota.

Pisang kedua mengapung pada samudera lepas. Biru samudera cenderung pekat, berbeda dengan biru langit yang benderang dengan sedikit taburan merah muda. Karya rupa ini menawarkan dua gerak, yakni gerak awan dan gerak air. Yang satu berarak lembut di ketinggian langit. Satunya lagi menggelegak di kedalaman samudera. Keduanya menyaksikan pisang mengapung dalam gerak yang gamang.

Di samudera yang lain, tampak pisang dengan mata membelalak. Ia berada di pusaran lautan. Siluet cerobong asap mengepulkan asap ketidakpedulian di kejauhan. Tidak peduli pada laut. Tidak peduli pada langit yang sedang memerah karena marah. Pisang terdiam, tapi hatinya bergerak dalam berontak.

Ada pula pisang yang bebas bergerak jauh di ketinggian angkasa. Ia tampak ingin bergegas membebaskan diri segala gaya tarik yang mengekang energi. Ada hasrat untuk melepaskan tumpukan energi gerak. Meski pusaran abu-abu berkeliaran mengikuti geraknya, pisang tetap mengajak teman-teman bertamasya dalam gerak bersama.

Memasuki masa pandemi, pelan-pelan warna biru dan kuning menjaga jarak dari ruang gambar Djalu. Keduanya menepi, tapi hanya untuk sekadar menyapa sepi, bukan untuk pergi. Gradasi merah pekat berunculan di sela abu-abu yang masih dominan. Apakah itu kemarahan atau keberanian? Barangkali keduanya, barangkali pula bukan keduanya. Yang pasti bidang gambar Djalu tak lagi menyisakan banyak ruang putih.

Pandemi menjadi momentum bagi Djalu untuk menebar harapan lewat karya rupa. Harapan hanya bisa dijemput dengan bergerak. Manusia yang menolak bergerak berarti menolak harapan. Padahal harapan bisa menyalakan kehidupan kala pandemi berupaya meredupkannya. “Narasi tentang hidup adalah narasi tentang gerak,” ujar perupa yang sedang menggarap sampul novel Yanusa Nugroho bertajuk Pohon Purba Berdahan Pelangi Berdaun Bintang itu.

Karya rupa Djalu berupaya menyediakan ruang bagi kita untuk bergerak merespon pandemi dengan dua pilihan: berani atau marah. Berani menghadapi setiap keterbatasan atau marah atas keterbatasan. Apapun pilihan kita, ada konsekuensi yang mesti kita panggul. Apabila kita digerakkan oleh energi marah maka kita mesti bersiap berjibaku dengan persoalan yang muncul dari benturan kemarahan. Sebaliknya, persoalan demi persoalan akan teratasi apabila kita memilih energi berani. Perlahan, tapi menjanjikan harapan.

Foto 1: “Pada mesin jahit mamaku, tersimpan perjuangan” Cara Charles Djalu mengekalkan sosok ibu dengan kalimat gerak dalam karya rupa.

Foto 2: Charles Djalu dan beberapa karya rupa pada masa pandemi

Foto 3: Serial pisang, karya rupa Charles Djalu bernafas gerak.

Foto 4: Gradasi merah kecokelatan menafasi karya rupa Djalu masa pandemi: Berani atau Marah.

Foto 5: Putih dan biru muda mewakili karya rupa Djalu sebelum masa pandemi: Luas dan Terbuka.


Wahyu  Kris lahir di Nganjuk pada 6 April 1979. Kelas 2 SD, pernah ditertawakan teman sekelas  waktu menyampaikan cita-cita jadi pelukis. Kelas 4 SD, karya karikatur pertamanya dimuat di majalah anak-anak. Honor digunakan untuk menraktir teman sekelas yang dulu pernah menertawakannya. Suka berdiam diri menatap lukisan hingga tertidur di aula pameran lukisan. Membaca, menulis, dan melukis adalah memori masa kecil paling istimewa.
Saat ini berkarya sebagai kepala sekolah SMPK Pamerdi Kabupaten Malang yang menyukai kegiatan literasi dan seni budaya.  Selalu senang dan sedang belajar menulis esai, opini, puisi, dan cerpen. Sangat berminat pada tema pendidikan, sastra, dan seni budaya. Karyanya tersebar di berbagai media lokal-nasional dan daring-luring seperti Kompas, Intisari, Jawa Pos, Malang Post, Radar Malang, Radar Madura, Majalah Basis, Majalah Kidung, Majalah Cerdas, Jurnal BPK Penabur, Buletin Kemuning, dan Terakota.id.
Pernah mengikuti ASEAN Literary Festival (2017) dan Borobudur Writers and Cultural Festival (2018). Memenangi juara 1 lomba esai anti-korupsi KPK (2018) dan juara 2 Sayembara Kritik Sastra Badan Bahasa Kemendikbud (2020).   Menerima penghargaan Adi Acarya Award dari gerakan Menulis Buku Indonesia (2018) dan Kepala Sekolah Inovatif Literasi dari Kemendikbud (2020).
Sudah menerbitkan buku Mendidik Generasi Z dan A (Grasindo, 2018), Secangkir Kopi Inspirasi (Kekata, 2019) dan puluhan antologi. Bergiat di komunitas sastra Kampung Pentigraf Indonesia. Menjadi tim redaktur majalah Sastra Tiga yang diterbitkan oleh komunitas Sastra Tiga Indonesia. Senang diajak berkawan lewat WA 081333491979, email wahjoekris@gmail.com, FB Wahjoekris, dan IG wahjoekris.