248 penulis novel telah beradu pada Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2006 dan ia keluar sebagai pemenang termuda dari pemenang lainnya. Kisah sihir ‘Jukstaposisi’ mampu menyihir para juri yang beberapa bulan berkubang dengan naskah. Rasa jengah dan malu-malu pun menyelimuti dirinya saat dinobatkan sebagai pemenang ketiga, dan berdiri diantara pemenang lainnya yang sudah lberkubang denganebih senior pada Malam Anugerah Novel DKJ, 9 Maret 2007 yang lalu.

Itulah sosok Calvin Michel Sandjaja, di usia 21 tahun memberikan kejutan bagi penonton dan penggemar novel di Teater Kecil TIM. ‘Jukstaposisi’ hanyalah bagian dari karya yang sudah rampung, sementara 2 novel berbarengan sedang dipersiapkannya. Rahasianya? Dedikasi dan kedisiplinannya menulis selalu dilakukan,”Setiap hari jam 10 pagi saya memaksakan diri untuk menulis paling nggak 1 halaman. Kalau nggak keluar idenya, saya tunggu sampai keluar. Kalau masih nggak keluar juga, saya tinggal baca komik atau dengerin musik klasik,” begitu ucapnya.

Ananda sempat bincang-bincang dengan Calvin yang sekarang sedang menimba ilmu di Hubungan Internasional Universitas Parahyangan semester 6.

Kenapa tertarik menulis fiksi?

Awalnya waktu kelas 2 SMU, saya dikasih tugas bikin cerpen oleh sekolah. Ternyata nilainya cuma dapat 75. Saya nggak puas! Jadi saya mau membuktikan diri kalau sebenarnya saya bisa kok bikin cerpen yang bagus. Setelah itu saya iseng-iseng bikin novel judulnya Miroir, tentang anak yang sakit jiwa dengan latar belakang Eropa.

Kok jadi suka berkhayal?

Saya memang suka film-film seperti serial Charm, yang bertemakan sihir. Jadi tema-tema cerita saya banyak yang temanya memang fantasi.

Apakah ada pengaruhnya antara kuliah di Hubungan Internasional dengan karya-karya yang kamu buat?

Ada, terutama banyak bumbu politiknya di dua novel yang lagi saya kerjakan sekarang. Yang pertama bertemakan futuristik, tentang dunia yang nggak punya hutan, plus ada konspirasi politiknya. Yang kedua tentang parodi keadaan politik, judul sementaranya Halo Indonenglia.

Sekarang kan banyak penulis novel chicklit. Kamu nggak tertarik untuk coba menulis tema itu?

Pernah sih coba menulis pakai bahasa yang ringan, tapi ternyata saya lebih cocok kalau menulis dengan gaya bahasa sastra. Menurut saya bagus juga kalau ke depannya penulis-penulis chicklit itu juga mencoba gaya bahasa sastra untuk memperluas khasanah gaya penulisannya.

Kini kamu dikenal sebagai salah satu sastrawan muda. Bagaimana menurut kamu susahnya dikenal dengan lebel tersebut?

Sebenarnya saya kurang pede. Khawatir gimana kalau nggak ada yang beli karya atau novel saya. Karena biasanya pasar kan nggak begitu suka bahasa sastra yang berat.

Bagaimana menyiasatinya supaya tulisan sastra kamu tetap jadi bacaan yang menyenangkan?

Salah satu caranya ya dengan menggabungkannya dengan bahasa sehari-hari yang lebih ringan. Contohnya seperti novel-novelnya Dewi Lestari. Saya sangat kagum dengan dia. Tetap sebagai sebuah karya sastra, tapi juga digemari market orang banyak.

Kalau disuruh mendeskripsikan bagaimana gaya tulisan kamu dalam satu kalimat, seperti apa?

Berbentuk fragmen, dari multi sudut pandang dan dengan time line yang berbeda-beda.

Komik apa yang suka dibaca?

Biasanya sih komik-komik action seperti Rockman Ekse, Ranma, 20th Century Boys.

Nah kita tunggu kiprah selanjutnya kedua novel yang tentu mengilik rasa penasaran kita dan tentu saja penerbit yang mau menangkap karya Jukstaposisi-nya. (Ananda Adityasanti/Vashti Trisawati Abhidana)