Oleh: Sartika Dian Nuraini

Generasi Z dan Ruang Bermain yang Hilang
(Sebuah Tawaran Kuratorial Teater Anak)

Sri Sadono dalam karya ‘Ruang Bermain’—sebuah buku kumpulan foto esai—merekam dan memberi jejak dokumentasi bagaimana anak kehilangan ruang untuk bermain di Jakarta. Tata ruang kota yang tidak layak anak terjadi sebagai efek dari perencanaan tata kota yang asal-asalan, menjadi isu penting yang diluncurkannya dalam buku itu. Karyanya merekam secara impresif mengenai ruang bermain anak di kampung-kampung, gang-gang, pinggiran pantai Ancol, lapangan kecil, pasar, dan pinggiran jalan. Anak-anak di pinggiran Jakarta, dalam foto-esainya telah kehilangan sebagian besar ruang bermain. Kota menjadi tidak ramah anak ketika penggusuran dan pemindahan tata ruang kota menghendaki ruang-ruang bersih.

Di sisi lain, ada isu mendesak tentang pertumbuhan ekonomi dan kapitalisasi segala bidang yang tidak bisa dipungkiri. Sistem kerja dan biaya hidup untuk tinggal di Jakarta menghendaki ayah dan ibu si anak bekerja terus-menerus tak mengenal waktu. Alhasil, tumbuh-kembang anak menjadi terganggu. Kita bisa bayangkan bagaimana kegiatan anak selepas pulang sekolah: main game online, interaksi dengan media sosial, sibuk dengan gadget mereka masing-masing. Di samping itu, mereka yang lahir dari tahun 1995-2010 adalah generasi Z, yang menurut Taufiq Andrianto dan Jusuf AN (2011) memiliki karakteristik sbb:

  1. Fasih Teknologi. Mereka adalah “generasi digital” yang mahir dan gandrung akan teknologi informasi dan berbagai aplikasi komputer. Mereka dapat mengakses berbagai informasi yang mereka butuhkan secara mudah dan cepat, baik untuk kepentingan pendidikan maupun kepentingan hidup kesehariannya.
  2. Sosial. Mereka sangat intens berkomunikasi dan berinteraksi dengan semua kalangan, khususnya dengan teman sebaya melalui berbagai situs jejaring, seperti: Facebook, Twitter, atau melalui SMS. Melalui media ini, mereka bisa mengekspresikan apa yang dirasakan dan dipikirkannya secara spontan. Mereka juga cenderung toleran dengan perbedaan kultur dan sangat peduli dengan lingkungan.
  3. Multitasking. Mereka terbiasa dengan berbagai aktivitas dalam satu waktu yang bersamaan. Mereka bisa membaca, berbicara, menonton, atau mendengarkan musik dalam waktu yang bersamaan. Mereka menginginkan segala sesuatunya dapat dilakukan dan berjalan serba cepat. Mereka tidak menginginkan hal-hal yang bertele-tele dan berbelit-belit.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang baru, Muhadjir Effendy, seperti tak mau kalah menyisipkan masalah baru buat generasi Z. Muhadjir Effendy menggagas sekolah sepanjang hari (full day school) untuk pendidikan dasar (SD dan SMP), baik negeri maupun swasta. Tujuannya membuat anak memiliki kegiatan di sekolah dibandingkan berada sendirian di rumah ketika orang tua mereka masih bekerja. Menurut Muhadjir, dengan menambah waktu anak di sekolah, mereka bisa menyelesaikan tugas-tugas sekolah dan mengaji sampai dijemput orang tuanya usai jam kerja. Disini Negara telah melakukan ‘pengebirian’ melalui peraturan dan ketetapan yang sepihak. Ruang bermain anak tidak hanya dibatasi secara ruang melainkan juga waktu. Kita bisa bayangkan apa yang terjadi dalam pertumbuhan mereka, ruang bermain lama-kelamaan hanya menjadi mimpi belaka. Opresi dan represi dilakukan terus-menerus secara sistemik untuk membabat generasi kreatif melalui peraturan semacam ini.

Survei yang saya lakukan terhadap anak-anak di beberapa kelompok teater menunjukkan bahwa dalam sehari anak-anak menghabiskan waktu rata-rata 3 jam menonton TV dan sisanya melakukan aktivitas seperti mengerjakan PR dari sekolah, mengaji, dan bermain dengan gadget (handphone). Beberapa diantara mereka juga berbelanja dengan aplikasi yang tersedia di smartphone. Beberapa diantaranya bahkan jarang melihat teman sebaya mereka bertengkar karena jarang melakukan komunikasi secara aktif di sekolah. Mereka mudah saling kenal karena bertemu di media sosial dan bercengkrama melalui aplikasi chatting. Pertemanan dan pertemuan fisik menjadi sangat tak penting dan artifisial. Ruang bermain telah berpindah dimensi jadi ruang virtual.

Adinda Luthvianti (Sutradara Teater dan Anggota Komite Teater DKJ) dalam sebuah wawancara mengatakan bahwa bekerja secara sosial memberikan ruang bermain dan belajar untuk anak mutlak dibutuhkan. Teater anak yang bergerak di Jakarta tidak banyak yang memiliki kesadaran terhadap kebutuhan dan perkembangan anak. Apalagi yang kita hadapi saat ini adalah perkembangan teknologi itu sendiri. Kuratorial teater anak yang dibutuhkan saat ini adalah yang mampu melakukan optimasi maupun kontra-optimasi dengan media-media yang sekarang ini menjadi ‘ruang bermain’ yang lain dalam konteks mereka sebagai generasi Z. Permasalahannya adalah tema-tema kuratorial yang kontekstual dengan generasi Z tidak atau belum disentuh oleh penyelenggara festival atau lembaga kesenian anak (kalau itu ada).

Permasalahan kedua, tentang metode latihan yang seringkali salah kaprah dipraktikkan oleh para sutradara teater anak. Pertama, mengadopsi metode latihan yang sama atau mirip dengan model latihan teater pada umumnya (dewasa), tanpa menimbang aspek-aspek lain dalam diri anak. Kedua, tidak ada riset tentang kecenderungan permasalahan atau isu-isu yang sedang dihadapi anak-anak. Sehingga yang terjadi adalah anak-anak menjadi objek kehendak sang sutradara. Padahal yang dibutuhkan oleh anak-anak adalah hiburan dan kebahagiaan yang tak bisa ditukar dengan gadget atau uang.

Secara faktual kita belum bisa memberi rumusan tentang pola interaksi generasi Z. Tetapi dalam teater, yang mutlak diperlukan adalah ‘being presence’ atau ‘keber-ada-an’. Generasi yang tumbuh dan belajar dari teater, Adinda mengungkapkan, mempunyai pilihan-pilihan yang unik dan subjektivitas yang menarik. Juga kecerdasan sosial terhadap apa yang terjadi di sekitarnya. Anak-anak memiliki semacam kepribadian utuh dan lebih peka.

Panggung hendaknya tidak diperlakukan secara menyempit. Dalam konteks pendidikan, misalnya, ia bisa menjadi sebuah ruang ‘bermain bersama rumus’ atau ‘bermain bersama bahasa’. Melalui panggung, anak-anak bisa bereksplorasi dengan aspek-aspek dramatik yang terjadi di sekolah, misalnya, interaksi anak-anak dengan rumus matematika atau fisika, interaksi dengan pengetahuan yang mereka peroleh dari laboraturium sekolah, bahkan sampai pada eksplorasi panggung untuk kritik sosial dan politis dalam dunia pendidikan. Jika semua ini berjalan, saya bayangkan teater tidak hanya disajikan sebagai hiburan tetapi juga sebagai pedagogi yang berkelanjutan.[]

Utopia:

  1. Thought Workshop (Lokakarya Pemikiran)
  2. Temu Teater Anak (Program ini sebagai kontra-optimasi ruang-ruang virtual. Beberapa pendamping memetakan dan mendata segala hal yang dihadapi oleh anak-anak. Menghendaki anak-anak bekerja bersama tim dan komunal)
  3. Virtual Blackbox. Tujuannya adalah platform teater anak yang ekosistemik.
  4. Showroom (monolog dan dramatic reading)
  5. Pembentukan Forum Teater Anak
  6. Arsiparis Teater Anak (sebagai distribusi pengetahuan dan data teater anak, produksi pengetahuan teater anak, penerbitan buku-buku naskah teater anak, direktori teater anak, penerjemahan dongeng-dongeng dan sastra untuk anak, situs arsiparis teater anak)