Warisan terbesar dari seseorang yang mendera dirinya untuk mencapai wilayah jelajah begitu luas adalah peta yang jauh dari selesai. Ini selalu seperti kutukan kartografi, sejak Catalhoyuk, peta pertama, sampai Star Trek, penulis peta yang diangankan. Sekali wilayah baru terjelajahi, keberanian dan kegagahan sepintas teruji, ketidaklengkapan dan ketidakcermatan menghantui.

Surat Kepercayaan Gelanggang, kita tahu, gagah sekali. Berani. Satu dari sedikit keberanian untuk lepas dan bergerak lebih jauh dari waham intelektual mimikri kolonial. “Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri.” Tidak, kami tidak sekedar diberi kesempatan oleh pengetahuan kaum kolonial untuk mengintip peradaban dunia, kami berhak atasnya. Kami tidak berhutang atas modernisme barat, kami berhak atasnya. Sebab kami berhak, kami akan pula menggunakannya dengan cara kami. “…itu lebih merupakan kredo seni daripada manifesto kebudayaan”, kata Nirwan Dewanto dalam Asrul (Koran Tempo, 2004). Hari ini kita tidak lagi bikin kredo, serahkan saja pada MTV.

Hampir 60 tahun dari kredo itu diumumkan, konstruksi kekacauan mental kolonial tidak pernah benar-benar dihabisi. Saya mendapatkan kesaksian dari beberapa penonton pementasan Mahkamah: beberapa menit setelah lampu dihidupkan, musik dimainkan, dan Ray Sahetapy duduk di tengah panggung, entah sengaja atau tidak, ngeloyor masuk seorang serupa MC yang mengabarkan (begitu penting, begitu genting) kehadiran ketua Mahkamah Konstitusi dan nama seorang selebriti yang ada di antara penonton. Teater kita dipenuhi kengerian, sebagian bisa dimaklumi, sebagian yang lain tidak. Kadang bahkan yang membuat kita bersyukur adalah ketidakhadiran kita dalam menyaksikannya. Kadang lebih baik absen, membolos.

Membincangkan pikiran-pikiran Asrul Sani atas Teater, kita tak cukup melokalisasi percakapan dalam wilayah karya literernya, atau setumpuk naskah yang ia terjemahkan. Sekalipun semua itu tentu cukup mampu menggambarkan rentang selera estetiknya yang kaya.

Mengenai ia dan teater, kita sedang berhadapan dengan pemikir yang cukup kompleks, seorang kartografer yang sangat terlibat, seorang pelaku yang disiplin. Jika perannya dalam ATNI kini sulit sekali dihubung-hubungkan dengan teater hari ini (sebagaimana kegagapan sejarah beroperasi dalam setiap segi kehidupan sosial kita), sekurang-kurangnya kita masih bisa menemukan, ia menerjemahkan Enam Pelajaran Pertama bagi Calon Aktor (Boleslawski) dan Persiapan Seorang Aktor(Stanislavski).

Dalam tulisan pengantarnya untuk Persiapan Seorang Aktor, ia menunjukkan bahwa proses menerjemahkan suatu pengetahuan dari bahasa asing bukanlah sekedar penerjemahan bahasa. Ia berhadapan dengan pertanyaan tentang nilai guna: apakah sistem ini, cocok untuk Indonesia?

Ia menjawabnya sekaligus dengan menunjukkan modusnya dalam membaca pengetahuan Barat. “Sistem Stanislavsky bukanlah sebuah resep yang harus dipergunakan begitu saja untuk dapat bermain baik. Sistem ini tidak lebih daripada “suatu jalan untuk menumbuhkan kreativitas dalam perkembangan seorang aktor””. Terang ia nyatakan, ia tidak sedang menerjemahkan suatu kitab suci. Bersama D. Djajakusuma dan Usmar Ismail, kita tahu, ia membangun ATNI. Relevansi akademi ini muncul pada nama-nama besar teater (dan film) Indonesia. Ada Teguh Karya, Tatiek Malyati, Wahyu Sihombing. Hari ini, kebesaran mereka tetap menjadi hantu. Badai Pasti Berlalu yang remakenya gagal total, semakin menggarisbawahi citra itu.

Di akhir tulisan pengantar di “bukan kitab suci” itu, ia tunjuk suatu pekerjaan rumah, bacaan lanjutan. Buku kedua Stanislavski, Membangun Sebuah Watak, adalah muka kedua, sisi lain dari metode pertama pemecahan masalah kreativitas menempuh jalan keaktoran. Belum lagi, dalam sepintas kalimat, ia tunjukkan adanya kemungkinan antitesa teoritik Meyerhold, murid Stanislavski. Tak lupa pula ia menunjuk Marlon Brando, aktor yang teknik vokalnya tertelan dan bergumam itu, sebagaimana kebanyakan aktor-aktor besar (film) Amerika, adalah penganut “metoda”, salah satu turunan dari “sistem” yang dikembangkan Lee Strasberg dan menjadi aliran terbesar keaktoran di Amerika. Pekerjaan Asrul menjelajah pengetahuan. Jelajahnya luas sekaligus membentangkan keluasan yang belum terselesaikan. Garin Nugroho dalam Revolusi Akting, Revolusi Merayu Massa (Kompas, 2002) bergembira dengan datangnya revolusi akting televisi sebagai antitesis akting teater, seolah-olah hanya ada satu jenis akting teater. Seolah-olah realisme Stanislavksi lahir karena tv. Sungguh, pekerjaan Asrul belum selesai.

Saya tidak sedang bersikap sewenang-wenang mengumpamakan dirinya dengan seorang pembuat peta. Sekurang-kurangnya ia menjelajahi dunia sastra, teater, dan film, ini seperti seorang penjelajah yang ingin merambah beberapa benua sekaligus. Dalam hal ini, paling tidak ia tak selugu Amerigo Vespucci, kartographer yang membutuhkan dua kali perjalanan ke suatu yang sama benua untuk sadar bahwa ia baru saja mencapai benua baru.

Di Surat-Surat Kepercayaan(1997), ia memberikan satu bab pada masing-masing dunia itu, selain satu bab kumpulan tulisan dunia seni budaya di luar ketiganya, dan satu bab lain untuk satu kategori tulisan di luar keluasan kesenian yang disebut, sedikit enigmatik, sebagai “dunia selainnya”.

Saat ia mulai menuliskan ketiga dunia itu secara khusus, kita tahu, pengetahuan modern sudah lama menuliskan sejarah ketiganya. Inilah paradoks utama yang dihadapi Asrul: berbagai disiplin itu, di sebagian sisi dunia yang jauh, sedang melaju di atas rel evolusinya. Di bagian dunia yang ia pijak, ia masih harus meraba-raba denyut dan kerap harus turun tangan melakukan pernapasan buatan. Lingkungan memaksanya menjadi menjadi ahli waris yang kelimpungan.

Nirwan Dewanto mempertanyakan pilihannya untuk tidak bersetia pada kepercayaan dan disiplin sastranya, pakai acara merambah film segala. Sebab pilihan itu sudah kadung diambil, saya cuma bisa bersyukur. Sekurang-kurangnya, dari Asrul, saya membaca 10 tulisan (1953-1990) yang mungkin mengungkapkan suatu dunia yang semakin disebut dengan penuh ketidakpercayaan diri, belakangan ini: teater. Saya juga masih berkesempatan menyimak perdebatan yang dipicunya, di Menengok Tradisi (Dokumentasi Temu Teater 1985, Tuti Indra Malaon, ed, 1986). Tulisan tentang dunia ini, kita tahu, tak banyak.

Ke-10 tulisannya berserak, menunjukkan kompleksitas perkara teater. Ia membahas perkara manajemen produksi, sejarah praktik teater di Indonesia, fungsi teater, teater sebagai medium dan posisinya di antara medium seni yang lain, studi naskah drama, studi praktik berbahasa dalam teater, teater dan pendidikan masyarakat, rekomendasi untuk teater kontemporer, sampai perkara birokrasi negara dan teater. Ajip Rosidi, editor Surat-Surat Kepercayaan, menjamin bahwa lebih banyak lagi tulisannya yang belum termuat di buku ini.

Membaca ke sepuluh tulisan itu saya menangkap satu benang merah gagasan, cukup konsisten dengan kredonya. Ia adalah salah satu anggota dari generasi pertama pembela modernisme di republik ini. Ia bersemangat dengan cita-cita kelahiran individu di masyarakat. Di matanya, mula-mula teater modern hanya bisa ada jika disangga individu, dan itulah yang mula-mula harus diciptakan. Naskah-naskah teater harus menyaran kelahiran individu, aktor-aktor harus hadir sebagai individu, sutradara harus mampu menyediakan pemanggungan yang menegaskan individu. Hanya dengan demikian penonton bisa membaca individu, terinspirasi untuk menjadi individu. Tentulah ia berdiri di tengah dua pusaran yang mengancam, pertama dari tempat ia belajar pengetahuan modernnya, orang-orang mulai mengkritik kegagalan proyek modernisme dan individunya, menolak pembelaan yang romantik atas Revolusi Prancis. Kedua, dari lingkungan sekitarnya, dari mereka yang secara keliru menjajarkan individualisme dengan sikap egoistik, menolaknya terutama dengan pembelaan yang romantik atas nilai-nilai ketimuran. Padahal Indonesia, saat itu (dan hingga kini), tak kunjung bulat keputusannya.

Di Menengok Tradisi ia tegas mengatakan, mungkin terdengar penuh semangat provokasi, bahwa wacana menggali tradisi tidaklah relevan bagi teater modern Indonesia. Baginya, paling relevan untuk dibicarakan dalam teater Indonesia adalah upaya untuk membaca lingkungannya “yang sekarang”. Alasan lain yang ia rasa memperkuat sifat irrelevan dari penggalian ini adalah karena ia percaya bahwa tradisi, adalah modal dasar seorang seniman. Bahwa seorang seniman tak mungkin bisa lepas dari akar budayanya.

Dialog ini terjadi pada 1985, ada 12 pembicara, 12 penyanggah, belasan peserta diskusi. Untuk tulisan pengantar, Tuti Indra Malon menulis Menggali Nilai Tradisional dalam Teater Modern, Leon Agusta menulis Pertemuan Teater 1985 Mencari Identitas Artistik. Simak betapa besar dan bersemangatnya percakapan teater saat itu. Dari 12 pembicara, semuanya bicara teater dalam skala besar. Saat itu sudah lebih dari 40 tahun sejak kepanikan dan jelajah Artaud, sejenis kartografer yang lain, melihat tubuh-tubuh Bali dan proyeksinya atas keaktoran teater modern. Sikap kosmopolitan “meneruskan kebudayaan

[dunia] dengan cara kami sendiri” tersesat entah dimana.

Sekarang tahun 2007. Apakah relevansi teater modern dengan lingkungannya? Apakah individu masih perlu dicari? Apakah identitas teater masih perlu digali? Apakah kita perlu bikin kredo, seperti MTV?

Penjelajahan Asrul terlalu luas. Di peta benua teaternya banyak sudut belum tercantum, banyak tempat belum dinamai, banyak pertanyaan usang belum terjawab, banyak pertanyaan baru penting untuk diajukan.

Dalam esai Fungsi Teater(1973), ia menunjukkan struktur drama yang berlaku dalam rentang sejarah teater tradisi, teater keraton, bahkan teater pasar (di era Ceng Bok dan Cak Durasim), yaitu struktur yang bersifat episodik dan diskursif, meluas dan melebar. Ini berbeda dengan prinsip drama Barat yang bertumpu pada pengetatan dan pengentalan.

Pikiran-pikiran tentang teater, sesuai kondisinya, sempat meluas dan melebar, bersifat general, namun karena membutuhkan lingkungan di luar kesenian untuk bisa menangkapnya, pikiran-pikiran ini kemudian sendat dan terpentalkan. Saya kira, saat ini, tak ada salahnya seniman teater merindukan diskursus macam ini. Namun patut pula kita pertimbangkan kemungkinan diskursus teater yang juga bertumpu pada pengetatan dan pengentalan, bersifat spesifik dan mendalam. Bagaimanapun teater adalah sebuah dunia yang disusun dari berbagai disiplin, dimana setiap disiplin juga adalah suatu dunia; dunia teori pendekatan estetik, dunia keaktoran, dunia penulisan, dunia penyutradaraan, dunia tata artistik, dunia tata musik, dunia tata produksi, dunia dokumentasi. Deret spesifikasi dunia yang jika diselami justru mempermudah teater berhubungan dan relevan dalam kaitannya dengan disiplin kesenian dan pengetahuan lain.

Bukan, bukan karena sudah kebelet banget pengen jadi Barat. Ini sekedar menggunakan metode yang ada, tersedia dan atau bisa dicari, untuk merekam dan menelaah, agar penjelajahan dan perjalanan tidak melulu dipenuhi perasaan tercenung-cenung yang sepertinya terus menerus baru. Paling tidak, seturut Asrul, kita bisa melakukannya dengan cara kita.

Kebudayaan dunia, mungkin memang sungguh keterlaluan besarnya. Sementara, sah atau tidak sah, pekerjaan teater belum selesai. (Ugoran Prasad)

* Dituliskan untuk diskusi Lintas Komite DKJ “Apa Kabar Hari Ini, Asrul Sani?”

Galeri Cipta, 24 Maret 2007

** Penulis adalah Associate Editor Lèbur Performance.Theater.Art