Pertengahan Juli 2007, bekerjasama dengan Yayasan Kelola, DKJ mengadakan ceramah tari oleh Chen Ya-Ping, Phd, Asisten Guru Besar pada Graduate School of Dance Theory, Taipei National University of the Arts, yang meraih gelar doktornya dalam Performance Studies di New York University. Mengangkat tema “Legacy dan Gerakan Kebudayaan Nativis di Taiwan tahun 1970-an” serta “The Cursive Trilogy – Teater Tari Cloud Gate Taiwan”, Chen Ya Ping menjelaskan tentang berkembangnya gerakan nativis, suatu fenomena kebudayaan bercirikan kedekatan batin yang kuat dengan tanah Taiwan bersamaan dengan minat yang mendalam terhadap sejarahnya. Drama tari Legacy oleh Cloud Gate — yang melukiskan imigrasi orang-orang Cina suku Han ke Taiwan tiga abad silam – dipandang banyak orang sebagai salah satu capaian terpenting gerakan kebudayaan nativis ini. Antara lain karena erat kaitannya dengan situasi dan kondisi sosial-budaya masa itu. Berkat pergelaran perdananya tanggal 16 Desember 1978 yang kini melegenda, bertepatan hari dengan pengumuman bahwa AS mengakhiri hubungan diplomatik dengan Republik Cina Taiwan, Legacy menjadi bagian tak terpisahkan dari ingatan kolektif rakyat Taiwan tentang tahun kemelut sewaktu negeri mereka menghadapi kemunduran diplomatik paling serius sejak keluar secara memalukan dari PBB tahun 1971.

Sebagai drama tari epik, Legacy sangat mungkin adalah pergelaran panggung pertama dalam masa pasca-1949 yang langsung mengangkat masalah sejarah Taiwan. Sebagai hasilnya, penggambaran keras dan sulitnya imigrasi, maupun perjuangan tanpa putus untuk bermukim di bumi baru itu, mempersatukan orang dalam pengalaman bersama dan ingatan kolektif ini kendati adanya perbedaan masa kedatangan atau leluhur mereka ke Taiwan. Dengan kata lain, penduduk asli Taiwan, maupun imigran dari daratan dapat melihat diri mereka sebagai bagian dari pengalaman “Legacy”. Ini barangkali salah satu sumbangan terpenting Legacy yang diberikan semasa tegangan “masalah identitas kedaerahan” (shengji qingjie) mencapai titik puncaknya yang baru di masyarakat Taiwan. Dalam arti yang mendalam, drama tari ini memberi orang-orang yang berbeda asal-usulnya kekuatan emosional untuk melabuhkan perasaan dan identitas mereka di bumi yang mereka pijak. Perubahan halus dalam identitas emosional ini – dari Cina daratan menjadi Taiwan – tercontohkan sebaik-baiknya dalam tanggapan seorang mahasiswa pada tahun 1978: “Ayah saya datang ke Taiwan tahun 1949. Karena latar belakang ini, saya sebelumnya selalu merasa tanah air saya Cina daratan. Setelah menyaksikan Legacy, saya sadari Taiwan juga negeri saya, tanah air saya.” (Wen, 1979: 83).

Dipandang banyak orang sebagai ungkapan ideal estetika nativis, Legacy, dengan semangat patriotismenya, sebenarnya tak bersesuaian dengan aliran nativis arus utama yang diwakili oleh sastra kurun 1970an, yang bercirikan suatu tendensi sosialis kontra-hegemoni. Sementara sastra nativis dalam tahap ini memusatkan perhatian pada pemaparan sisi kelam kenyataan sosio-politik Taiwan dengan menggambarkan penderitaan individu di bawah sistem yang menindas kala itu, Legacy merayakan semangat ‘pergulatan untuk menjadi lebih baik’ di kalangan rakyat jelata dengan memuliakan kemampuan menanggungkan kesulitan, dan kekuatan kehendak kolektif. Jelaslah, ilham yang ditimba dari kerja keras fisik yang senyatanya dalam koreografi ini menunjukkan pengaruh kuat estetika realistik aliran nativis.

The Cursive Trilogy – Teater Tari Cloud Gate Taiwan

Dengan purnanya Cursive Trilogy, lahirlah suatu jenis tari kontemporer baru di Asia, ciptaan kelompok tari Taiwan, The Cloud Gate Dance Theatre of Taiwan. Sejak pergelaran Song of the Wanderers (1994), Moon Water (1998), Cursive (2001) dan Cursive II (2003) di berbagai festival dan gedung pergelaran di dunia, “Tubuh Cloud Gate” menjadi fenomen yang sama memesonanya bagi kritikus, profesional tari dan penonton umum karena kesempurnaannya yang memukau, keotentikan, dan keindahannya yang organik. Cursive III, yang diperdanakan di Taipei bulan November 2005, makin membuktikan kekuatan mental dan fisik penari-penari Cloud Gate maupun keajaiban panggung yang mampu digarap Lin Hwai-min dan para pakar teknis serba hebat yang dimiliki grup ini. Pergelaran cemerlang yang berhasil dicapai Cloud Gate di panggung tari dunia adalah hasil perjalanan panjang yang berawal pada 1994.

Perjalanan Menuju Cursive Trilogy

Dalam persiapan Song of the Wanderers, Lin meminta penari-penarinya bermeditasi tiap hari dan melakukan latihan-latihan semacam berjalan lamban dengan lutut menekuk, mendhak (Jw.). Maksud Lin ialah menjelajahi kemungkinan lain dalam menari dengan mengesampingkan teknik-teknik tari konvensional yang sudah terbiasakan sebagai andalan para penari, dan menyelami kesadaran-mendalam yang dimiliki tubuh serta batin. Digambarkan dengan istilah “meditasi dalam gerak”, keadaan tubuh yang hening dan sangat terkonsentrasikan ini meletakkan landasan bagi pengembangan kemudian.

Lalu, pada tahun 1996 Lin mengundang master Tai-Chi, Hsiung Wei, untuk memberikan latihan Tai-Chi Tao-Yin kepada para penari. Ini adalah suatu sistem olah tubuh-dan-batin yang didasarkan pada praktik kuno Chi-Kung dan kaidah-kaidah panduan Tai-Chi. Tai-Chi Tao-Yin memandang tubuh manusia sebagai sebuah jaringan sangat memesona yang tergariskan oleh dua sumbu berpotongan, yang masing-masing berawal dari ujung-ujung jari sebelah tangan dan berakhir di ujung-ujung jari kaki di sebelah lain. Dalam pelaksanaan latihan, gerak terurai menyusuri kedua sumbu ini secara berpilin, berbarengan dengan nafas yang menerus dan tidak terburu-buru. Seperti garis lengkung antara yin dan yang dalam ikon Tai-Chi, yang melambangkan mekanisme daur-ulang dan saling dukung tanpa akhir antara dua status, lintasan-pilin gerak dalam Tai-Chi Tao-Yin membuka dan menjelajah ruang nirbatas dalam tubuh manusia.

Cursive

Menarikan kaligrafi di panggung bukanlah gagasan baru. Beberapa koreografer lain telah melakukan upaya ini sebelum Lin. Yang mencolok dan luar biasa pada Cursive ialah cara pewujudan dan transformasi esensi serta estetika kaligrafi itu di pentas. Alih-alih menggunakan kaligrafi sekadar sebagai papan loncat untuk mencipta gerak atau renda-renda budaya, Lin berjuang untuk menyuling inti bentuk kesenian kuno ini menjadi suatu bahasa gerak dan estetika panggung yang baru.

Alih-alih sekadar sistem tanda yang menyampaikan arti kebahasaan, kaligrafi Cina adalah sebuah bentuk-seni (art form) dan suatu cara olah tubuh-dan-batin. Aliran tenaga yang terhunjam pada sapuan kuas, nuansa tinta dari hitam pekat hingga putih mengabut dalam satu garis tunggal, juga selang-seling antara tinta dan bidang kosong pada kertas merang, itulah antara lain hal-hal dasar yang diperhatikan dalam estetika kaligrafi Cina. Setelah mengikuti pelajaran-pelajaran mingguan di bidang kaligrafi, para penari diminta berimprovisasi dengan menghadapi karakter-karakter tertulis yang diperbesar, menyerap daya para empu kaligrafi dengan menirukan jalur sapuan tintanya. Namun, pada akhirnya jejak fisik tinta itu tak dihiraukan lagi dan hanya tinggal chi yang terungkap dalam alir dan tanda baca larik tulisan itu. Proses ini diperagakan dengan bagus dalam penampilan solo Chou Chang-nin di depan karakter “yung” (berarti “selama-lamanya”) menjelang awal tari.

Dengan kekuatan dan kebebasan persendian serta perototan yang didapat lewat latihan-latihan yang berat dalam Tai-Chi Tao-Yin dan beladiri, para penari bertransformasi menjadi kuas dan tinta di panggung, menggemakan citra-citra adikarya kaligrafi yang diproyeksikan pada latar belakang panggung. Kadang bagian-bagian gulungan perkamen, atau bagian-bagian karakter, digunakan untuk menegaskan keindahan abstrak kata-kata tersurat itu, meningkatkan lagi kesadaran kita betapa bidang kosong itu memunculkan keindahan tinta. Kekosongan yang hadir secara positif ini juga tercermin pada banyaknya momen hening dalam gubahan musik Qu Xiao-song yang khusus dibuat untuk karya tari ini, dan yang memberikan ruang teramat luas bagi gerak para penari untuk mengambil nafas dan mengurai berkembang.

Cursive II

Meski ada kontras tajam antara hitam dan putih, aksi dan diam, yin dan yang dalam Cursive, tekstur koreografis dalam Cursive II jauh lebih subtil dan lebih meditatif. Kehadiran kaligrafi di panggung tak perlu lagi karena kaidah-kaidah inti maupun estetikanya sudah diinternalisasikan dalam tubuh para penari dan ditransformasikan menjadi desain panggung. Sebagai ganti tinta hitam pada kertas merang/kertas roti putih, warna-warna pudar porselin Dinasti Sung dan proyeksi “letup-letup es” yang amat sangat diperbesar di permukaannya menjadi latar belakang tari ini.

Cursive II merayakan kuasa yin—ruang hampa dalam kaligrafi atau lukisan pemandangan Cina, arus-bawah energi dalam gerak tenang atau bahkan diamnya nya penari, sepi atau terkadang lantunan musik gubahan John Cage yang sangat sayup-sayup, dan juga ruang jeda ambil nafas yang dihidupkan dengan pencahayaan lembut serta chi yang beredar di dalam dan di antara para penari. Walaupun kostum para lelaki dan perempuan itu berbeda kali ini, yang laki-laki bercelana hitam dan yang perempuan celana putih yang anggun, kualitas gerak mereka serupa – cair, puitis dan apik. Mendekati akhir, seorang laki-laki muncul berkostum putih, membaur dengan mudah dan mulusnya ke dalam kelompok perempuan. Maskulinitas yang menyerah pada feminitas membuktikan kekuatan tenaga yin yang tak kunjung pudar dan hubungan timbal-balik antara ying dan yang dalam falsafah Tao.

Cursive III

Kulminasi Cursive Trilogy, yaitu Cursive III, adalah tentang alam dan spontanitas. Nyanyian tonggeret di musim panas, embusan angin yang tiba-tiba, ombak memecah di pantai berkerakal, air menetes-netes serta terompet kabut jalin-berjalin menjadi soundscape koreografi, yang berhasil memberikan aksentuasi pada nafas ritmis para penari, hentakan-hentakan kaki yang penuh tenaga dan, terkadang, ungkapan vokal.

Gulungan-gulungan spanduk kertas putih sekian meter lebarnya bergantian diturun-naikkan selama pergelaran. Ruap tinta hitam cair menetes dari pipa-pipa tersembunyi di atas, meresapi kertas dan membentuk pola-pola kaligrafi dengan kecepatan yang tak tertangkap mata, menghasilkan “instalasi dalam proses” yang berbeda-beda saban malam. Dengan bantuan tata-cahaya, gulungan-gulungan kertas putih itu menyembunyikan atau menampakkan penari, menambahkan lapis-lapis matra keruangan pada lingkungan panggung.

Akan tetapi kesaktian yang sejati ada pada para penari. Sesudah bertahun lumat larut dalam disiplin tubuh tradisional, tubuh para penari Cloud Gate telah mencapai kelenturan dan kekuatan tiada tara sehingga mereka punya kebebasan indah dalam melaksanakan semua gerak. Dengan bobot tubuh mereka kokoh tertancap ke bumi, tangan, kaki dan torso mereka menari dengan kecepatan sangat tinggi – berpilin, memuntir dan berputar seolah beterbangan ke segala arah namun sempurna terkendali. Kekayaan variasi daya (energi) dan bentuk-bentuk yang terus berubah dari gestur-gestur yang dilakukan merupakan pesta menakjubkan bagi mata dan cerapan kinestetik. Daya yang tak terjinakkan dan menggelegak ini, yang melanggar aturan seluruh perbendaharaan gerak tari namun memegang teguh esensi gerak yang benar-benar organik, dengan cemerlang menangkap spirit Kuan Chao, “kaligrafi liar” yang mengilhami bagian terakhir Cursive Trilogy.

“Sudah sejak tahun 1970an saya punya gagasan menarikan kaligrafi. Sekarang saya temukan chi, maka saya kerjakan itu,” kata Lin di awal 2003. Selalu ada proses, yang terencana matang dan sangat cermat dilaksanakan, yang mengantar pada hasil akhir Cloud Gate. Dalam Cursive Trilogy, kita saksikan progresi tubuh penari dan guliran ide koreografer. Barangkali ada banyak jenius di dunia tari, tetapi ‘arsitek’ seperti Lin, yang tak hanya punya visi hebat tentang tari melainkan juga pikiran terbuka, keteguhan hati yang tak teralahkan, dan kemampuan yang muskil dicari bandingannya untuk melaksanakan visi itu, sungguh langka.

(Disarikan dari materi makalah Legacy and The Nativist Cultural Movement in 1970’s Taiwan & The Cursive Trilogy Cloud Gate Dance Theater of Taiwan, diterjemahkan oleh Landung Simatupang)