DINI YANG MENGABADI LEWAT FIKSI TENTANG DIRI

Ibnu Wahyudi

Nama lengkap Nh. Dini adalah Nurhayati Sri Hardini Siti Nukatin. Dibandingkan dengan lazimnya nama orang Indonesia, nama lengkap Nh. Dini dapat dikatakan lebih panjang. Pun dalam hal kepengarangannya, deretan karya fiksinya jelas dapat dinyatakan sebagai lebih panjang, sehingga tidaklah mengherankan jika banyak yang menyatakannya sebagai prolifik. Hanya beberapa saja pengarang Indonesia yang hasil karyanya melampaui Nh. Dini, misalnya Kwee Tek Hoay—yang baru saja menerima penghargaan Bintang Budaya Parama Dharma dari Pemerintah RI—yang telah menerbitkan lebih dari 200 karya sastra, Asmaraman Kho Ping Ho yang telah menerbitkan lebih dari 100 karya, dan Abdullah Harahap yang pernah diperbincangkan dalam forum ini.

Namun demikian, ada yang biasanya dipakai sebagai kriteria bagi suatu kepentingan untuk membedakan antara Nh. Dini dengan ketiga pengarang yang telah disebutkan ini yaitu bahwa karya-karya Nh. Dini cenderung sering diposisikan sebagai “lebih sastra” atau dengan “s kapital”. Tentu, ihwal ini akan langsung mengundang perdebatan dan cenderung tidak akan sampai kepada suatu kesepakatan yang aklamatif dan memuaskan semua pihak sebab perbalahan masalah “sastra” atau yang “populer”, selain selalu akan muncul, juga karena senantiasa berhubungan dengan tolok ukur yang tidak selamanya tetap. Kendati begitu, di kalangan pembaca, baik secara diam-diam atau terang-terangan, tertangkap adanya pengotakan karya yang sedemikian ini. Juga, salah satu yang sering dipakai sebagai pembeda adalah karena Nh. Dini seorang wanita sementara yang sudah disebutkan kesemuanya adalah pria.

Wanita-Pengarang yang Prolifik
Sampai dengan tahun 2011 ini, sejauh yang dapat saya data, Nh. Dini sudah menghasilkan karya sebanyak 31 buah. Karya-karya tersebut adalah Dua Dunia (1956), Hati yang Damai (1961), Pada Sebuah Kapal (1973), La Barka (1975), Keberangkatan (1977), Namaku Hiroko (1977), Sebuah Lorong di Kotaku (1978), Padang Ilalang di Belakang Rumah (1979), Langit dan Bumi Sahabat Kami (1979), Sekayu (1981), Amir Hamzah Pangeran dari Negeri Seberang (1981), Kuncup Berseri (1982), Tuileries (1982), Segi dan Garis (1983), Orang-orang Tran (1985), Pertemuan Dua Hati (1986), Jalan Bandungan (1989), Tirai Menurun (1993), Dharma Seorang Bhikku (1997), Tanah Baru, Tanah Air Kedua (1997), Kemayoran (2000), Jepun Negerinya Hiroko (2002), Monumen (2002), Istri Konsul (2003), Dari Parangakik ke Kampuchea (2003), Janda Muda (2003), Pencakar Langit (2003), Dari Fontenay ke Magallianes (2005), La Grane Borne (2007), Argenteuil: Hidup memisahkan Diri (2008), dan Pondok Baca Kembali ke Semarang (2011).

Dibandingkan dengan wanita pengarang lain, semisal dengan Marga T., Mira W., V. Lestari—yang banyak berkarya semenjak tahun 1970-an—atau dengan Ayu Utami, Dee, Oka Rusmini, Dorothea Rosa Herliany, atau Djenar Maesa Ayu—dari generasi terkini—Nh. Dini tetap dapat dikatakan sebagai pengarang yang paling produktif. Memang, pembandingan dengan wanita pengarang yang rata-rata menulis semenjak masa pemerintahan Soeharto berakhir, sekitar tahun 1998, menjadi kurang relevan dan tidak seharusnya; namun dengan para wanita pengarang yang dari generasi sebelumnya pun, seperti telah disebut, karya-kara Nh. Dini tetap lebih banyak. Demikian pula dengan daya kreasinya, energi pada Nh. Dini terasa betul terus meletup-letup menghasilkan karya, seperti paling tidak tampak dari karya-karya terakhirnya yang terbit di pengujung akhir dekade awal melenium ini.

Tentang Wanita dan Upaya Pemberontakannya
Sangat mungkin, kata kunci yang dapat dilabelkan kepada karya-karya Nh. Dini hanya dua, yaitu “wanita” dan “pemberontakan”. Akan tetapi, kendati hanya cukup dengan dua kata ini, jelas bahwa apa yang hendak dikemukakan oleh Nh. Dini sangat bersangkut paut dengan persoalan besar kehidupan dan utamanya, sungguh mendasar. Maka, ketika pembaca dihadapkan dengan persoalan “wanita” yang sejak dulu sampai entah kapan, dengan segala misteri dan permasalahannya, yang ada adalah sebuah panorama kehidupan yang akan selalu mampu memikat pembaca kendati meskipun kompleksitas persoalan yang ditampilkan tidak akan sampai kepada suatu problem yang serba hebat atau menjagat. Haruskah suatu kebermaknaan kisah berangkat dari soal-soal yang selalu “wah”?

Nh. Dini cenderung tampak tidak hendak mengobral kerumitan alur dengan suara yang lantang. Penceritaan yang “tenang” dan sesekali terkesan “tertahan” yang umumnya terasakan; bukan kehebohan atau kemeledakan yang mengagetkan tapi lantas ditinggalkan. Kisah-kisah yang ia bangun lebih pada suatu ungkapan pemberontakan yang anggun, yang secara subversif mengalun dan mengendap ke dalam kesadaran pembaca secara diam-diam. Dan gerakan seperti ini, pada hemat saya, mengemuka terus-menerus dalam karya-karyanya. Suara konsisten yang menghendaki adanya suatu kesetaraan dalam kehidupan antara wanita dengan pria pun, tidak disampaikan dengan teriakan yang menggebrak melainkan dengan kemarahan yang sebagiannya didasari oleh kerja otak; bukan semata suatu pelampiasan atau protes atas patriarki yang membelenggu di kanan dan kiri.
Dalam kaitan dengan permasalahan relasi wanita-pria atau perempuan-laki-laki ini, yang menurutnya tidak adil, terkadang memang ada ungkapan yang begitu langsung dan jelas. Kupada kutipan berikut ini contohnya. “Aku selalu mengarang dengan maksud untuk bisa menarik keuntungan. Selain keuntungan kebendaan, kuinginkan supaya orang, dalam beberapa hal kaum laki-laki, mengenal dan mencoba mengerti pendapat dan pikiranku sebagai wakil wanita pada umumnya.” (Sekayu, 1991: 76). Namun demikian, gaya berkisah Nh. Dini tidak selamanya sedemikian ini. Sejumlah karyanya tetap berkisah dengan permainan impresi dan menawarkan tanggapan evaluatif yang khas.