Narasi Kebudayaan
Oleh: Ratna Sarumpaet

Belajar Dari Masyarakat Suku Samin
Harga Buruh Indonesia
Ziarah Yang Hilang
Generasi Matematika

1. Belajar dari masyarakat Suku Samin
Saminisme adalah perlawanan kultural suku Samin. Sebuah paham tertutup, dengan aturan hidup yang hanya dimengerti suku Samin. Sebagai suku pedalaman yang ditinggalkan pembangunan, kehilangan hutan, tanah dan airnya, Suku Samin tidak sendirian di Indonesia. Ada suku Sakai, Suku Naga, Kubu, Badui dan suku-suku di Papua, di Kalimantan, di Nusa Tenggara dan Sumatera.

Apa yang kita saksikan dalam hidup mereka adalah sebuah pengadilan atas kehidupan. Ketercerabutan dari tempat kelahiran dan tekanan mengikuti model hidup yang tidak mereka yakini. Pola perubahan dalam kehidupan suku-suku ini sama. Mereka semakin miskin, tidak terdaftar dalam struktur sosial manapun dan hilang dari peta statistik Indonesia.

Masyarakat Samin tidak silau oleh globalisasi dan tidak tergiur dengan segala sesuatu yang berbau modernisasi. Mereka tidak mengintai berita-berita televisi untuk mengetahui program-program pembangunan yang dijanjikan Kepala Negaranya. Tanpa harus belajar ilmu ekonomi di bangku sekolah, sejarah telah mengajarkan pada mereka kalau teori pembangunan tidak akan berpihak pada mereka. Bagi teori pembangunan kemiskinan adalah sesuatu yang buruk dan harus disingkirkan agar tidak merusak pemandangan negara-negara yang datang menawarkan investasi.

Itu sebab Suku Samin mendidik anak-anaknya hidup apa adanya, tanpa keluhan. Dulu, ketika bayi-bayi lahir di Mentawai, mereka langsung dibawa ke sebuah tempat yang dipenuhi asap dan hawa panas. Dari sana, ketahanan diri dibentuk. Neraka seolah sudah hadir saat seorang bayi lahir ke bumi.

Kalau adegan mengasapi bayi seperti itu kita saksikan hari ini, atas nama undang-undang kita akan memenjarakan ibu dan bapak yang mengasapi bayinya itu karena telah melanggar hak-hak anak. Itu salah satu contoh bagaimana kita selalu melihat orang-orang miskin melalui sudut pandang kita dan menimbang persoalan mereka dengan apa yang menurut kita benar. Kita menyikapi mereka dengan monolog pikiran; Perdebatan tentang kemiskinan meluncur dari mulut politisi, intelektual dan budayawan. Kata-kata tentang kemiskinan menjadi inflasi menyesakkan, tanpa tahu hakekat kemiskinan yang sebenarnya. Kita mengatakan kita akan memerangi kemiskinan. Tapi tidak satupun orang miskin kita biarkan mewakili dirinya di forum-forum yang membicarakan kemiskinan, termasuk di kursi-kursi DPR. Dan akhirnya, kita pun tidak mampu membedakan apakah kita sungguh-sungguh melakukan perang terhadap kemiskinan, atau jutru melancarkan perang terhadap orang-orang miskin.

Kalau Soekarno pernah mengangkat kemiskinan yang melanda seorang petani bernama Marhaen dan menjadikan Marhaenisme sebagai ajaran melindungi kaum miskin, sebagai semangat kesetaraan dan semangat mencintai sesama. Lalu apakah yang sudah dilakukan para pemimpin Bangsa ini selama Enampuluh Lima tahun Indonesia ada, kalau hak-hak hidup, hak sosial dan hak budaya suku Samin justeru terus terrrampas?

Satu-satunya kemajuan suku Samin hingga saat ini, adalah agama. Mereka sudah punya agama. Nama agama mereka, agama Nabi Adam. Agama yang melulu berbicara tentang keluhuran budi, tentang keberpihakan pada alam dan kehidupan, tentang keberanian dan kemandirian untuk bertahan hidup.

Malam ini, kita berbicara tentang Pancasila dan menyebutnya Rumah Bersama. Rumah yang seyogianya dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan, yang melindungi rakyatnya dari ancanan kepincangan dan pahitnya ketidak adilan.

Kalau betul Pancasila adalah Rumah Bersama kita, kenapa kita biarkan jumlah orang-orang miskin terus berkembang, berbaris sepanjang sejarah, mengacung-acungkan belati ke langit sambil memekik-mekik memanggil negerinya? Kenapa anak-anak di Papua kita biarkan mati kelaparan, di NTT, di Sulawesi Tengah, di lahan gambut sejuta hektar di Kalimantan dan di lembah-lembah kemiskinan lainnya?

Kalau betul Pancasila adalah Rumah Bersama kita, kenapa kita biarkan anak-anak negeri ini dicemooh oleh kehidupan; Kenapa kita biarkan mereka menghabiskan malam-malamnya di sudut-sudut pasar; Bau anyir menguap dari pori-pori tubuh, menusuk hingga ke ubun-ubun; Rambut menggumpal oleh keringat dan debu jalan; Cahaya rembulan berpaling menyembunyikan pedih.

Kita tahu mereka mati karena Negara tidak menghargai mereka sebagai anak manusia dan tidak mengurus mereka dengan hati. Kalau pun mereka akhirnya bisa bertahan hidup, itu hanya karena mereka mengandalkan insting atas kehidupan; Mereka, sesama orang miskin, bekerja sama atas dasar ingatan; Mereka melupakan kemiskinannya dengan saling mengulurkan tangan.

Di tengah situasi yang seperti itu, kita seharusnya bangkit dan berdiri disisi rakyat; Kita tidak seharusnya membiarkan Penguasa terus-menerus melecehkan kemiskinan rakyat dengan janji-janji kosong; Memanipulasi kemiskinan mereka, demi mempertahankan singgasana. Karena hanya dengan begitulah kita layak menyebut Pancasila sebagai Rumah Bersama. Sebuah Rumah yang melindungi rakyatnya dari ancaman kemiskinan, terlindung dari segala bentuk ketidak adilan; yang seluruh penghuninya beradab, memiliki martabat, dan menghormati sesama.

2. Harga Buruh Indonesia ….

Impian yang terkoyak
Penduduk desa Tegung berkerumun di pekarangan rumah Pak Marto, Kepala Desa mereka. Surti, putri tertua Pak Marto pulang hari ini. Mereka menunggu dengan mulut terkunci, dada sesak oleh gusar, menatap ke ujung jalan. Di antara mereka, Bu Marto, Isteri Kepala Desa, berdiri sambil memeluk Gembul, bayi berusia sebelas bulan, cucunya. Bagi Bu Marto, kepulangan Surti adalah penyesalan, aib, sekaligus duka yang tak tertahankan. Urat-urat mukanya tampak menonjol keluar, jantungnya berdebar keras. Ia memeluk Gembul sedemikian erat, seolah hendak membenamkan bayi mungil itu ke rongga dadanya. Matanya menatap ke ujung jalan, dengan tatapan menyimpan air mata. Air mata yang telah dibedungnya selama belasan tahun menjadi istri Kepala Desa di Tegung.

Gembul adalah putra satu-satunya Surti dari suaminya Suprapto. Satu tahun menikah, Tuhan mengaruniai perempuan gesit dan periang itu Gembul. Bagi Surti, Gembul adalah segalanya. Gembul lah mata harinya. Gembul lah sumber gairah hidup.

Sayang, usia kebahagiaan Surti memiliki Gembul tidak berumur panjang. Satu siang, dua bulan setelah kelahiran Gembul, penduduk di Desa Tegung tiba-tiba gempar dan marah besar. Prapto tertangkap basah meniduri salah satu gadis Desa Tegung. Dengan kemarahan tak terbendung, penduduk menggelandang Prapto keliling Desa, digebuki dan dianiaya hingga babak belur.

Persitiwa memalukan itu benar-benar membuat Surti terpukul. Dia merasa dunianya mendadak gelap. Tidak sanggup menanggung malu dan luka hatinya, suatu pagi, sebelum Pak Marto dan penduduk Desa Tegung terbangun, Surti pamit pada Bu Marto. Dengan muka mengeras, tanpa air mata, Surti menitipkan Gembul pada Ibunya. Ia meninggalkan buah hatinya itu, dengan hati terkoyak, berangkat menuju Arab Saudi, dengan kaki goyah.

Bu Marto, bukan tidak tahu buruknya resiko keputusan Surti. Dia tahu ceritera tentang Ningsih yang mati gantung diri di Malaysia karena tidak tahan dengan perlakuan majikannya. Dia juga tahu cerita tentang Bonet yang pulang kampung membawa permukaan kulit yang melepuh sekujur tubuh oleh luka bakar akibat disetrika majikan. Sebagai isteri kepala Desa Tegung, Bu Marto bahkan merasa ikut bertanggung jawan atas duapuluh dua orang penduduk Desa Tegung yang diberangkatkan ke Negeri Arab sebagai TKI, dan sampai kini tidak jelas rimbanya.

Tapi apa daya seorang Ibu seperti Bu Marto menghadapi situasi putrinya yang seperti itu? Bagaimana dia akan membendung hasrat Surti, sementara hati putri tertuanya itu sedang hancur dan marah?

Mendengar raungan sirene Ambulans dan mobil-mobil Polisi di kejauhan, ketegangan dan keheningan di pekarangan rumah Pak Marto memuncak. Mulut mereka nyaris kelu saat menyaksikan Surti diturunkan dari ambulans hanya tulang berbalut kulit. Kepala perempuan periang itu tampak berputar lemah, menatap penduduk yang berkerumun di sana dengan tatapan menerawang dan kosong. Mata Surti sama sekali tidak tergerak melihat Bu Marto meradang menyongsongnya. Surti bahkan seperti tak mengenali Gembul, anak yang lahir dari rahimnya itu.

Tidak tahan melihat kenyataan putrinya, Bu Marto berlari ke pekarangan belakang rumahnya. Sambil terus memeluk Gembul, ia memutari sumur tua yang ada disana berulang-ulang sambil tak henti meradang, sampai perempuan setengah baya itu akhirnya terjatuh di tanah, tidak sadarkan diri.

Surti tidak mengeluh ia setiap hari dijejali pekerjaan yang harusnya dikerjakan dua tiga orang. Membantu majikannya memasak, mencuci piring dan pakayan, membersihkan lantai, menyapu pekarangan, memotong rumput, menyikat empat kamar mandi sekaligus menjaga bayi, dia lakukan dengan baik dan tanpa mengeluh.

Tapi tiap malam mempersembahkan seluruh dirinya, tubuhnya, kehormatan dan harga dirinya pada Pak Abdullah majikannya dan membiarkan lelaki tua itu memperlakukannya sebagai budak sex, Surti meronta. Rontaan Surti sempat mengganggu hubungan Indonesia – Arab Saudi yang kemudian mengantarnya pulang. Pulang membawa aib berlapis. Pulang dalam keadaan terguncang dan tak berdaya ……”

Arus Pembebasan
Kekuatan apa gerangan yang mampu meremukkan tulang kemaluan seorang perempuan hingga merobek dinding rahimnya, kalau bukan kebiadaban? Dan itu terjadi di Negeri ini. Terjadi pada seorang perempuan. Seorang buruh dari kalangan paling bawah, Marsinah.

Pada dini hari, Sembilan Mei seribu Sembilan ratus sembilanpuluh tiga, perempuan itu ditemukan tewas di sebuah gubuk di Hutan Wilangan, sebelah Barat Nganjuk. Ia tampak mengalami siksaan hebat sebelum ajal menjemput. Di perutnya tampak luka tusukan benda tajam sedalam 20 sentimeter. Dagunya memar, selaput daranya robek, kemaluannya hancur.

Dikenal cerdas dan Kritis, langkah dan gerak gerik Marsinah, yang bekerja sebagai operator mesin di sebuah pabrik arloji di Sidoarjo, tiba-tiba menjadi gangguan bagi para petinggi di perusahaan dimana ia bekerja. Para Petinggi itu erkejut ada buruh kecil, perempuan, memulai gerakan melawan. Sejak itu, Marsinah mulai mendapat tekanan, diintimidasi dan diancaman.

Namun Marsinah tetap saja bertindak sesuai gairah dan kesadarannya. Ia terus saja mengalir mengikuti hati nuraninya. Tanpa beban, Marsinah menyadarkan satu demi satu kawan-kawannya agar tidak takut dan dia berhasil mengerahkan pemogokan buruh terbesar yang pernah terjadi di perusahaan itu dan memimpin sendiri pemogokan itu. Dengan suara lantang ia meneriakkan tuntutan kenaikan upah dan memprotes nasib 13 karyawan yang diPHK secara sepihak.

Kita tahu, Marsinah tidak bersalah atas apa yang ia perjuangkan. Tapi begitulah pertumbuhan ekonomi dan kegairahan investasi di Negeri ini selalu dipetakan. Untuk menghemat ongkos produksi upah buruh harus ditekan sekecil mungkin. Itulah inti persoalan buruh kita di Negeri ini hingga hari ini. Buah dari persekongkolan antara Pengusaha, Penguasa dan Para Wakil Rakyat di DPR. Persekongkolan melukai rakyat sendiri. Persekokolan tidak beradab yang terus memperburuk citra negeri di mata dunia. Dan kita bungkam.

Kita tidak pernah mengusik berapa besar biaya yang dikeluarkan Perusahaan untuk menyogok para pemberi tender atau pemberi kredit. Kita tidak mempersoalkan seberapa banyak uang Perusahaan mengalir menyuap anggota DPR agar Undang-undang yang mereka keluarkan sesuai dengan keinginan Para Pengusaha. Kita bahkan tidak pernah mempertanyakan kenapa Negara membiarkan Perusahaan memelihara tentara atau kepolisian untuk membungkam buruh yang mencoba-coba mengeluh.

Para pemilik modal boleh terus-menerus mengeruk keuntungan. Para Penguasa dan Wakil Rakyat boleh terus bercengkerama diatas tiap tetes keringat kaum buruh. Tapi seorang seorang buruh kecil berani membuka mulut menuntut perbaikan upah, nyawanya akan terrenggut.

Marsinah telah memberikan pengorbanan terbesar yang dapat diberikan anak manusia untuk bangsa ini, yakni nyawanya sendiri. Ia adalah martir bagi perjuangan kaum lemah melawan kesewenangan Negara. Jerit kesakitannya adalah gelombang pasang pembebasan yang dengan terang benderang memperlihatkan pada kita, betapa manusia punya hak-hak dasar dan hak-hak asasi. Dari jasadnya yang remuk itu, kita menyaksikan dua agresi sekaligus. Agresi terhadap dirinya sebagai buruh atau rakyat kecil; dan agresi terhadap dirinya sebagai seorang perempuan.

Di mata Kekuasaan, keberanian dan kegigihan Marsinah adalah dosa pada Paham Kepatuhan yang ditanamkan Negara pada rakyat, dan dosa pada kodratnya sebagai perempuan yang seharusnya manis dan penurut . Itu sebab Marsinah harus membayar keberaniannya itu dengan mahal. Ia harus disingkirkan. Menyingkirkannya tidak cukup hanya dengan memecatnya dari perusahaan tetapi membunuhnya; Dan membunuhnya pun harus ditandai dengan simbol-simbol keperkasaan. Daniaya. Diperkosa, hingga rahim dan kemaluannya remuk.

Berbicara tentang nasib Tenaga Kerja Indonesia, atau nasib buruh Indonesia secara keseluruhan, kita ibarat berbicara tentang luka berkepanjangan yang kepedihan dan keparahannya mampu merenggut apa saja. Kesabaran, jati diri, harkat bahkan nyawa. Parahnya luka mereka adalah gambaran parahnya kualitas moral kita, moral bangsa ini, moral para Pemimpinnya, moral para Pengusaha dimana buruh menggantungkan nasib, moral para Politisi dan para wakil Rakyat, termasuk moral kita sebagai sesama manusia

Malam ini kita menyebut Pancasila sebagai Rumah Bersama. Rumah, yang seyogianya melindungi rakyat, termasuk kaum buruhnya. Tapi apakah yang telah dilakukan Negeri ini dalam memperbaiki nasib buruh, kalau hingga hari ini gelombang perlawanan mereka masih terus berdarah dan menyimpan api?

Di masa Orde Baru, memperingati hari Buruh adalah Haram dan siapapun yang berani menentangnya, dia ditangkap, dipenjarakan atau hilang. Meski ketakutan-ketakutan seperti itu sudah tidak terjadi, nasib buruh kita masih tetap tidak berubah. Pada Peringatan Hari Buruh yang lalu, ribuan buruh turun ke jalan. Suara mereka memekik ke langit menagih janji pemerintah mensejahterakan buruh dan menuntut pengesahan Rancangan Undang-undang Jaminan Sosial dan Kesejahteraan, dipercepat.

Tidak ada perwakilan Pemerintah muncul di hadapan para demonstran, paling tidak untuk menunjukkan kalau demokrasi sudah berjalan di Republik ini. Pemerintah justru menerjunkan puluhan ribu aparat, lengkap dengan water cannon, tronton dan tank-tank raksasa. Mereka menghadapi demonstrasi buruh seperti menghadapi musuh dan memicu bentrokan fisik di berbagai tempat.

Kepala Negara di Republik ini, bahkan sama sekali tidak menggubris apa yang menjadi tuntutan para buruh yang turun ke jalan. Dia justeru menggelar makan siang dengan sekelompok kecil buruh, dan dengan santai mengunjungi dua pabrik di kawasan Citeurep. Tidak ada protes tentang kesejahteraan buruh dalam pertemuan yang mirip piknik silaturahmi itu; Tidak ada keluhan soal sistem kontrak kerja atau outsourcing.
Tidak ada …..

Itu budaya baru yang ditawarkan Penguasa Republik ini pada kita hari-hari ini. Menghadapi protes dan penderitaan rakyatnya dengan masa bodoh. Budaya yang tidak punya rasa hormat pada kehidupan dan kemanusiaan. Budaya yang bahkan tidak menghormati dirinya sebagai seorang pemimpin …..

3. Ziarah Yang Hilang
Nama lelaki berusia delapan belas tahun itu Teuku Irfan, biasa dipanggil Ian. Ian baru saja lulus SMU dan berencana melanjutkan kuliah di Jakarta. Namun, beberapa hari sebelum Ian meninggalkan Banda Aceh, pikiran dan ingatannya tiba-tiba terseret ke Teuku Sofyan, ayahnya. Budaya Ziarah yang selama sekian tahun berusaha ia tempis, tiba-tiba membuat hatinya gusar dan tidak mampu memejamkan mata.

Khatijah, Ibuda Ian yang hanyut terbawa Tsunami bersama rumah dan seluruh isinya, sudah lama ia ikhlaskan. Ia selanjutnya dibersarkan suami isteri Kemal dan Denia yang menemukannya terdampar di sebuah teluk di wilayah Lamno, Aceh Barat. Ian tahu Teuku Sofyan meninggal di tengah peperangan di masa konflik. Namun hatinya tidak pernah tergerak untuk mencari tahu dimana Ayahnya dikubur.

Kali ini, Ian menerima rongrongan bathinnya sebagai isyarat ia wajib mencari tahu keberadaan kubur Ayahnya. Ia memutuskan menemui empat sahabat dekat Teuku Sofyan sesama anggota GAM, yang tinggal di empat wilayah berbeda di Aceh. Lima hari perjalanan melelahkan ia tempuh menemui para sahabat Ayahnya itu. Namun tidak satupun dari mereka yang buka suara, selain meminta Ian bersabar.

Hari itu, sehari sebelum keberangkatannya menuju Jakarta, Ian mengunjungi Lhok Sukon di wilayah Aceh Utara. Ia berdiri di sebuah dataran luas, di kaki bukit dan di tepi jurang besar dan dalam. Bulukuduk Ian meremang padahal matahari sedang tinggi dan terik. Ketika ia berputar menatap sekeliling, dan melihat sepanjang mata memandang sunyi dan sepi, perasaan ‘sendirian’ menyergapnya. Keringat dingin mengucur dari tubuhnya yang tegap; Cahaya matahari memantul di keningnya yang legam, mengkilat.

“Hati-hati nak. Jangan berdiri terlalu di tepi.”

Pak Saleh, seorang prajurit tua, mantan Marinir menegur Ian. Ian tidak bergerak. Bukan karena ia tidak mau mendengar nasehat Pak Saleh, tapi karena hatinya kalut. Ia merasa tersesat dan ingin terjun ke dalam jurang di hadapannya. Dia mengenal jurang itu sebagai Bukit Tengkorak. Sudah menjadi rahasia umum di jurang itu dan di empat Bukit Tengkorak lainnya, terkubur ribuan tulang-belulang rakyat Aceh, dibuang oleh TNI di masa Orde Baru.

“Dulu Bapak bertugas sebagai sopir eskavator milik TNI. Mayat-mayat itu dibawa kemari dengan truk, lalu dibuang di pelataran ini membawa bau anyir darah yang sengitnya Bapak tidak pernah lupa. Dengan eskavator Bapak mangangkati mayat-mayat itu dan melemparnya ke dalam jurang itu.

“Mereka…” Ian tiba-tiba bertanya dengan suara berdesis.

“Ya. Mereka. Walau mereka sudah tinggal tengkorak, bagi Bapak mereka tetap manusia. Kamu tidak perlu ziarah kemari Nak. Ini terlalu menyakitkan. Pertama Bapak menjalankan tugas itu, Bapak menggigil ketakutan. Hati Bapak meronta dan sedih luar biasa. Tapi sebagai Prajurit, tugas Bapak adalah patuh. Patuh pada perintah atasan …..”

Irfan tidak tahu apakah dia harus menangis atau marah. Sejak masih kecil ia sudah mendengar ceritera tentang bukit tengkorak dan hatinya selalu menolak mempercayainya. Tapi sekarang, setelah mendengar penjelasan Pak Saleh, pertanyaan berikut yang mengepung kepalanya adalah,

“Apakah tulang belulang Ayahku juga terkubur disini?”

Ian tidak sanggup berpikir, apalagi membuka mulutnya. Tsunami yang merenggut Khatidjah dari kehidupannya pernah membuatnya terpukul dan sangat kehilangan. Namun cinta suami isteri Kemal dan Denia, yang dengan tulus membesarkannya, membuat rasa kehilangan itu perlahan pudar. Baru kali ini Ian merasakan rasa kehilangan yang dahsyat. Ia merasa kosong. Ia merasa sesuatu terrampas dari dirinya …

Tidak tahan, Ian berlari pesat meninggalkan Pak Saleh, marah luar biasa dan berhenti di tengah jalan raya. Dadanya sesak, tidak tahu harus marah pada siapa. Ia melihat dirinya sebagai korban permaian nasib, sebagai tawanan dari pertengkaran dunia besar, dunia yang terlalu besar untuk ia pahami.

Cerita Ian adalah satu dari sejuta ceritra memilukan yang dialami rakyat akibat kejahatan kemanusiaan yang dilakukan Negara terhadap rakyat. Kejahatan-kejahatan itu tidak pernah diungkap secara hokum dan tidak dibenahi secara budaya.

Sebut satu-demi satu sejak Peristiwa G30S tahun 1965 lalu serangkaian peristiwa pelanggaran HAM di Papua; Peristiwa Lampung, Peristiwa Tanjung Priok, Peristiwa 27 Juli, Semanggi, Trisakti, Peristiwa Mei, Kerusuhan Maluku dan Poso, Kasus Munir dan satu kasus berkepanjangan di depan mata kita, Lumpur Panas Lapindo. Seluruhnya menunjukkan kekejaman Negara mencemooh kehidupan rakyatnya ….

Aku bisa memahami kenapa Ian merasa begitu terpukul. Kesedihan Ian tidak lagi semata kesedihan seorang anak yang kehilangan kedua orang tuanya. Atau rasa kehilangan karena dipaksa tercerabut dari akarnya. Kesedihan Ian sudah menyangkut harkatnya sebagai anak manusia. Menyangkut apa yang diyakininya sebagai umat beragama.

Terlepas apakah tulang belulang Teuku Sofyan ada dalam jurang itu, di dalam agama yang diyakininya, ribuan jasad yang terkubur di bukit-bukit tengkorak yang terserak di Bumi Serambi Mekah, seyogianya dimandikan dengan dengan air yang sudah disembahyangkan. Membalutnya dengan kain kafan yang putih dan bersih. Mengumandangkan adzan ke rongga telinga mereka dan mengantarkan mereka ke tempat peristirahatan yang layak dengan dzikir dan doa-doa.

Mengatas namakan Bangsa dan Negara mereka porak porandakan silaturahmi dan menjadikan manusia terasing dari sesama ……

Bagiku, kalau Pancasila betul adalah Rumah Bersama Kita, dan kita betul menghormati kemanusiaan yang beradab; Untuk jutaan korban kejahatan kemanusiaan di Republik ini, untuk harkat dan martabat mereka; untuk derita dan aniaya yang mereka tanggung; seluruh nengri ini seharusnya menggemuruh dengan pembacaan Yassin yang tak putus-putus …..

4. Generasi Matematika
Amnah masih duduk di kelas 1 Madrasah Ibtidaiyah, tapi dia sudah lancar berbicara tentang cita-cita. “Kalau sudah besar, aku mau jadi dokter. Supaya punya uang banyak, punya rumah besar seperti rumah Pak De, punya mobil mewah.”

Amna tidak mengatakan ia ingin jadi dokter agar bisa menyembuhkan orang yang sakit, apalagi menolong orang yang tidak bisa ke Rumah Sakit karena tidak punya uang.

Begitulah otak anak-anak Indonesia teracuni sejak mereka masih kanak-kanak. Tidak hanya diracuni lingkungan dan tayangan-tayangan televisi, tapi terutama diracuni oleh konsep pendidikan Nasional yang salah kaprah. Konsep yang selalu dikaitkan dengan keberhasilan materi, yang menempatkan matematika sebagai puncak kecerdasan.

Bukan dosa besar apabila DPR dan Pemerintah tidak paham, pendidikan adalah proses pembudayaan dan pemberdayaan yang berpijak pada nilai-nilai dan berlangsung sepanjang hayat. Tapi ketika para penyelenggara Negara, dari rezim ke rezim enggan menerima masukan atau kritik, itu baru malapetaka. Itu yang membuat gagasan-gagasan pendidikan untuk melahirkan anak-anak yang mandiri, kreatif dan berkarakter, yang cerdas dan bertanggung jawab terbuang ke tong sampah.

Bachtiar terbaring di sudut sel di Ruang Tahanan Polres Jakarta Selatan dalam keadaan marah dan terpukul. Mukanya lebam-lebam merah biru. Di sudut hidung, darah mengering. Ia baru saja ditangkap Polisi di tengah sebuah tawuran antar dua SMU di di Jakarta Selatan.

Bachtiar bukan siswa dari salah satu SMU yang bertikai. Ia siswa terpandai di SMU 23 Jakarta Utara, yang baru saja dinyatakan tidak lulus Ujian Nasional. Dengan motornya, dalam keadaan frustrasi, Bachtiar berkeliling Jakarta dan terjebak di tengah amuk tawuran yang sedang berlangsung panas di pelataran sebuah Mall. Seperti menemukan tempat melampiaskan amarah dan kecewanya, Bachtiar mengamuk melebihi yang lain dan menjadi perhatian Polisi.

Bachtiar adalah satu dari ribuan siswa SMU yang histeria menangisi kenyataan, betapa Ujian Nasional sebagai standar penentu kualitas lulusan SMU telah merenggut harapan masa depan yang mereka idam-idamkan. Sebagian dengan tegar menerima takdir, mengikuti ujian ulangan. Sebagian menangis berhari-hari, mengutuki diri dan mengutuk pemerintah, bahkan ada yang dengan gelap mata menghabisi hidupnya.

Sebaliknya, mereka yang lulus juga histeria merayakan kemenangan; Menyemprot pilox di tembok-tembok jalan, di seragam sekolah dan rambut. Sebagian, menggelar pesta minuman keras atau pesta narkoba di kamar-kamar hotel. Sebagian berkonvoi sepeda motor di jalan-jalan, melanggar aturan lalu lintas sesuka hati, dan sebagian lainnya, bentrok dengan rombongan sekolah lain dan saling tikam.

Begitulah kejahatan politik dan buruknya hasrat korupsi melukai anak-anak Indonesia. Memperalat Ujian Nasional, Negara memperkosa system pendidikan yang dampaknya merambah kemana-mana. Bertahun-tahun kasus ini dipermaslahkan, di demo bahkan digugat, tidak mempan.

Tidak mampu melawan keputusan Pemerintah, sekolah-sekolah lalu mengambil jalan pintas. Demi meningkatkan angka kelulusan dan nilai rata-rata sekolah, mereka membekali anak-anak didiknya dengan jawaban Ujian sebagai bahan contekan. Dari sinilah tragedi korupsi yang melanda bangsa ini dimulai. Guru dan Sekolah secara sistematis membentuk anak-anak didiknya menjadi penipu, mengajari mereka berbahagia atas sesuatu yang bukan haknya.

Bachtiar, anak-anak yang tawuran itu, yang bunuh diri, yang pesta narkoba dan saling menikam itu, adalah aku. Mereka adalah bagian dari diriku, yang membuat malam-malamku gusar, tidak sanggup memicingkan mata.

“Bangkitlah! Jadilah anak-anak muda yang berprestasi karena kalianlah generasi penerus bangsa, kepada siapa masa depan Indonesia dipercayakan.”

Tiap kali Sumpah Pemuda diperingati, dengan suara mengandung api, para petinggi Negeri ini berlomba-lomba membesar-besarkan kedudukan anak-anak muda.

Generasi yang mana? Masa depan yang mana? Masa depan seperti apa yang kalian harapkan bisa kami perjuangkan sementara sejarah masa lalu bangsa ini kalian gelapkan dari pemahaman kami?

Tiap hari Tiarma menyaksikan wajah bapaknya di televisi, seorang mantan pejabat yang memanfaatkan jabatannya menjarah uang rakyat. Tiarma tidak tahu kemana ia harus menyembunyikan mukanya. Ibunya sibuk menghitungi berlian di kamar tidur sambil tak henti tertawa. Kalau Tiarma kemudian melarikan kesedihannya ke tempat yang salah dan menjadi pencandu Narkoba, siapa yang harus disalahkan kalau bursa perdagangan Narkoba di Negri ini juteru berpusat di markas-markas Kepolisian?

Kalian bicara tentang generasi penerus, tentang masa depan, sementara generasiku punah oleh kejahatan Politik dan keserakahan kalian; Kami terperangkap di tengah kemiskinan yang kalian rancang; Terjebak di bandar-bandar perdagangan Manusia; Terlunta-lunta menghinakan diri sebagai budak di negeri orang …..

Kalian menuntut kami menghormati kehidupan, berbudi luhur dan memahami orang lain, sementara kepala kami kalian jejali dengan sampah. Kepada siapa kami harus berguru kalau Penyelengara Negara di Republik ini, intelektualnya, budayawannya, tiap hari berseliweran di hadapan kami, mempertontonkan kebodohan? Sekolah tidak mengajarkan pada kami tentang nilai-nilai. Kami tidak mendapatkan pelajaran sastra, supaya kami paling tidak punya imajinasi bagaimana berada di kehidupan orang lain. Kalian bahkan tidak pernah menanyakan pada kami apa yang kami inginkan ……

Tuhan, kalau kau benar-benar ada, hentikan ini.
Hentikan …. Hentikan …..

(Narasi Kebudayaan ini disampaikan oleh beberapa aktor/ aktris dalam rangka “Pancasila Rumah Kita, Tribute to Franky Sahilatua”, 31 Mei 2011, Graha Bhakti Budaya)