Dewan Kesenian Jakarta selalu punya komitmen kuat dan sikap yang jelas atas pelarangan acara dan karya seni-budaya, yakni kami menolak pembatasan kebebasan berekspresi di bidang seni, budaya, dan ilmu. Kami selalu berada di sisi para seniman, karya seni, dan semua yang berkepentingan bagi pengembangan seni budaya Indonesia dalam menghadapi tekanan dari pihak Negara atau pihak mana pun yang hendak memberangus kebebasan berekspresi di Indonesia.

Jika terjadi pelarangan dan pembatasan, apalagi jika itu terjadi di ruang-ruang berkesenian yang menjadi wilayah tanggungjawab kuratorial kami, maka DKJ akan berusaha mendampingi, memfasilitasi, serta mengupayakan penolakan atas tekanan dan pelarangan tersebut melalui negosiasi dan berbagai bentuk pendampingan yang dimungkinkan.

Terkait dengan surat edaran dari Panitia Documentary Days 2016, yang terdiri dari para mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, yang beredar sejak Sabtu, 26 November 2016, pihak DKJ segera mencari tahu apa yang sesungguhnya terjadi.

Sayang sekali, dalam kasus ini, pihak Panitia Documentary Days 2016 sebelumnya tidak melakukan koordinasi apa pun dengan DKJ. Pihak Komite Film DKJ maupun anggota DKJ yang lain mengetahui adanya pembatalan pemutaran kedua film itu after the fact (sesudah pembatalan terjadi), itu pun bukan dari pihak Panitia, tapi dari pihak luar, yakni kawan-kawan aktivis gerakan sipil yang penuh perhatian dan keprihatinan terhadap masalah kebebasan berekspresi di negeri ini.

DKJ baru mendapat info tentang pembatalan pemutaran pada Sabtu, 26 November 2016, siang. Itu pun berupa pertanyaan atas cuitan Twitter Panitia dari akun @DOCDAYSFEBUI yang mengumumkan pembatalan pemutaran film karena “alasan teknis”. Pihak Komite Film lalu bertanya kepada Dhandy Laksono, pembuat film Jakarta Unfair, mengenai kabar pembatalan ini. Sebagai catatan, Komite Film DKJ dan DKJ pada umumnya juga tak mengetahui adanya pemutaran film dalam rangka acara Documentary Days FEB UI di Studio XXI Taman Ismail Marzuki.

Sorenya, dari Dhandy, kami mendapatkan screen shot surat edaran dari Panitia tentang kronologi pembatalan tersebut, bertajuk Kronologi Pembatalan Penayangan Dan Diskusi Film Dokumenter Jihad Selfie dan Jakarta Unfair Documentary Days 2016, yang ditandatangani oleh Rahma India Marino, Ketua Pelaksana Documentary Days 2016. Padahal, pihak DKJ masih baru mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Apalagi secara resmi, kantor UP PKJ TIM (Unit Pengelola Pusat Kesenian Jakarta, Taman Ismail Marzuki) memang tutup di akhir pekan, sehingga agak menghambat proses penyelidikan DKJ.

Dalam surat edaran tersebut digambarkan bahwa ada keberatan atas pemasangan baliho kegiatan sehari sebelumnya, pada Jumat, 25 November 2016 dengan alasan keberatan pihak UP PKJ TIM adalah pemutaran film berisiko mendapat tekanan dari pihak polisi. Disebutkan juga bahwa ada insiden interogasi polisi atas pihak penyelenggara pemutaran film Jihad Selfie yang pernah diputar di TIM sebelumnya.

Lalu, disebutkan juga bahwa pada Jumat sore, pukul 16.30 WIB, pihak Panitia didatangi “dua orang yang menanyakan film tersebut.” Tak ada kejelasan siapa identitas kedua orang itu, hanya tertuliskan dugaan dari pihak pengelola harian XXI bahwa dua orang itu dari kepolisian. Lalu, Panitia mengaku menghubungi pihak UP PKJ TIM dan mendapatkan tanggapan bahwa pihak UP PKJ TIM dan XXI TIM tidak bertanggungjawab atas isi film jika terjadi masalah. Maka, pihak Panitia memutuskan pembatalan karena tidak ingin menghadapi risiko tekanan yang dibayangkan mungkin muncul jika film itu diputar.

Sampai Senin pagi, 28 November 2016, Dewan Kesenian Jakarta mendapati beberapa hal sehubungan dengan peristiwa pembatalan itu:

  1. Pihak DKJ meminta konfirmasi Pak Imam Hadi Purnomo sebagai Kepala UP PKJ TIM, apakah memang telah terjadi pelarangan. Melalui pesan Whatsapp hari Sabtu dan Minggu, Pak Imam menjawab bahwa tidak ada pemberian izin maupun pelarangan atas pemutaran film Jakarta Unfair dan Jihad Selfie yang diterbitkan UPT karena hal itu memang bukan wewenang UP PKJ TIM. Pak Imam menyatakan bahwa ia baru mengetahui adanya pemutaran film itu setelah ada pertanyaan tentang pembatalan film dari DKJ. Tidak adanya pemberian izin dari pihak UP PKJ TIM—DKJ memang mengindikasikan tidak adanya proses permintaan izin dari pihak Panitia kepada UP PKJ TIM—DKJ. Pihak Panitia rupanya berurusan langsung dengan pihak XXI TIM yang dalam hal ini terhitung sebagai pihak komersial yang menyewa tempat di dalam kompleks TIM.
  2. Keberatan atau pelarangan pemasangan baliho di depan pintu masuk TIM pada Jumat, 25 November 2016, sehari sebelum acara, lebih disebabkan oleh keberatan UP PKJ TIM karena pemutaran film tersebut diadakan di Studio XXI TIM—yang merupakan ruang komersial. Pannel yang tersedia untuk memasang baliho di depan kompleks TIM, peruntukannya hanyalah untuk acara-acara publik yang merupakan bagian dari program TIM dalam naungan supervisi dan kuratiorial DKJ. Ruang publikasi tersebut memang tidak pernah diizinkan untuk digunakan oleh pihak Studio XXI TIM—yang merupakan ruang komersial.
  3. Apabila memang ada pembicaraan saat permintaan pemasangan baliho oleh Panitia kepada UP PKJ TIM tentang “resiko” didatangi polisi jika film itu diputar, sejauh yang kami dapati infonya dari UP PKJ TIM, itu bukan suara resmi dari UP PKJ TIM. Jika ada pelarangan acara dari UP PKJ TIM, maka pelarangan itu akan disampaikan secara tertulis, dan ditembuskan kepada DKJ.
  4. Belum didapati keterangan sedikitpun tentang identitas dua orang yang mendatangi Panitia.
  5. Terkait dengan pemutaran film di Studio XXI TIM, pihak UP PKJ TIM dan DKJ tidak memiliki kewenangan dalam menentukan materi tayang, karena Studio XXI TIM adalah ruang komersial bukan ruang publik yang menjadi naungan tanggungjawab UP PKJ TIM dan DKJ. Pemutaran film di Studio XXI setahu kami lebih berkaitan dengan pihak manajemen Studio XXI dan Badan Sensor Film (BSF). Ruang putar alternatif bagi publik dalam naungan DKJ adalah kineforum.
  6. Pemutaran film Jihad Selfie pernah diselenggarakan di kineforum pada Jumat, 9 September 2016 dan pada Rabu, 14 September 2016 dan pihak penyelenggara tidak pernah mengalami kesulitan selama dan sesudah pemutaran. DKJ melalui Komite Film sepenuhnya mendukung pemutaran film tersebut, dan selama 2 hari—dengan total 4 kali pemutaran, film tersebut meraih perolehan penonton sebanyak 123 penonton.

Dengan semua keterangan di atas, maka DKJ menyatakan bahwa:

  1. Kami menyesalkan adanya pembatalan pemutaran film Jakarta Unfair dan Jihad Selfie. Sejauh info yang kami dapati, kami menyimpulkan bahwa pembatalan pemutaran film Jakarta Unfair dan Jihad Selfie oleh Panitia Documentary Days FEBUI lebih banyak mengandung unsur swa-sensor (self censorship) dari pihak Panitia dan Pengelola Harian Studio XXI TIM sendiri.
  2. Pembatalan pemutaran kedua film itu oleh Panitia sangat berbeda kasusnya dengan peristiwa pelarangan acara Festival Belok Kiri, ketika pihak UP PKJ TIM memberikan surat resmi pelarangan setelah mengalami tekanan yang nyata dan resmi dari pihak kepolisian. Pada saat itu, DKJ berada di sisi para seniman dan penyelenggara acara, menolak pelarangan tersebut.
  3. Apabila pihak Panitia berkoordinasi sejak awal dengan DKJ dan Komite Film DKJ mengenai acara ini, maka kami lebih mudah dan lebih langsung bisa melakukan pendampingan serta negosiasi yang diperlukan jika memang terjadi tekanan dan pelarangan pemutaran. Kami akan mendorong agar pemutaran tetap dilaksanakan, dan tak perlu ada pembatalan.
  4. DKJ punya preseden berhasil menyelenggarakan acara-acara yang memiliki risiko tinggi ditekan oleh aparat Negara, seperti acara pemutaran film Senyap (sutradara Joshua Oppenheimer) pada 10 November 2014 yang dihadiri sekitar 2000 pemirsa dalam 3 kali pemutaran serta sebelumnya menggelar acara diskusi buku “Kekerasan Budaya Pasca 1965: Bagaimana Orde Baru Melegitimasi Anti—Komunisme Melalui Sastra dan Film” karya (alm.) Wijaya Herlambang pada 17 Januari 2014. Koordinasi semua pihak dan komitmen DKJ untuk menjadikan ruang publik di wilayah kerja DKJ sebagai ruang bagi kebebasan berekspresi telah berhasil mewujudkan acara-acara yang rawan tekanan Negara ataupun Ormas tertentu di Taman Ismail Marzuki. Maka, alangkah lebih baik jika para seniman atau penyelenggara acara kesenian yang akan menggunakan ruang publik di TIM untuk berkoordinasi dengan DKJ. Kebebasan di ruang publik bagi kesenian dan kebudayaan ini akan terwujud kokoh dan berkelanjutan karena kerjasama semua pihak pengampu kepentingan kesenian dan kebudayaan di Indonesia.
  5. DKJ terbuka bagi pemutaran film Jakarta Unfair dan Jihad Selfie ataupun film-film serupa yang memiliki nilai pemajuan seni, budaya, dan demokratisasi Indonesia di lingkungan TIM dan ruang publik bagi kesenian di dalam naungan tanggungjawab kami.

Kami mengakui bahwa ada banyak perubahan administratif sejak manajemen TIM beralih dari BP PKJ TIM menjadi UP PKJ TIM dengan (Pergub 109/2014) tahun lalu yang juga mencakup Gedung Kesenian Jakarta, Gedung Wayang Orang Bharata serta gedung pertunjukan Miss Tjitjih. DKJ sedang bekerjasama dengan UP PKJ TIM untuk mensosialisasikan tata kelola ini kepada masyarakat luas agar kesalahpahaman seperti ini tidak terjadi lagi.