“Seni lukis Indonesia tidak ada.” Begitu pernyataan provokatif yang pernah dilontarkan Oesman Effendi pada tahun 1969. Kontan kalimat tersebut mengundang perdebatan dari kalangan seniman. Bahkan sekarang pun ‘protes’ masih keluar dari beberapa tamu yang hadir saat Komite Seni Rupa DKJ 22 Maret lalu menyelenggarakan pembukaan pameran lukisan koleksi DKJ – PKJ TIM dengan judul yang dikutip dari pernyataan tersebut.

Bukan tanpa alasan bila Komite Seni Rupa DKJ menjadikan ucapan Oesman Effendi sebagai tema pameran kali ini. “Seni lukis dari segi penciptaan amat luar biasa bila dibandingkan dengan karya pelukis Asean misalnya. Tapi bila melihat problem seni rupa atau wacana yang dihasilkan dunia seni rupa, sangatlah sedikit. Tujuan pameran ini selain supaya koleksi lukisan DKJ tidak menjadi ‘karya pingitan’ dan bisa dinikmati oleh publik, juga untuk mengetengahkan wacana yang mempengaruhi penciptaan seni rupa kita. Diharapkan yang berkembang tidak hanya karya, tapi juga wacananya,” begitu jelas Bambang Budjono, Ketua Komite Seni Rupa.

DKJ memamerkan 29 lukisan koleksinya dan PKJ-TIM turut menampilkan 14 lukisannya. Menurut Hafiz, kurator pameran ini, pemilihan lukisan didasarkan pada aspek sejarah, isu “Seni Lukis Indonesia Tidak Ada”, dan wacana identitas seni lukis Indonesia. Mengulik sisi sejarah, menarik untuk melihat kembali apa yang telah dimulai oleh S.Sudjono, Hendra Gunawan dan rekan-rekan di PERSAGI. Apakah moderenisme dalam seni lukis Indonesia benar-benar ada? Juga merujuk pada isu pernyataan Oesman Effendi yang memunculkan perdebatan di kalangan seniman, dipilihlah karya ‘pendukung’ Oesman Effendi seperti Rusli dan Nashar.

Pameran ini juga menghadirkan rekaman audio diskusi-diskusi yang dilakukan Komite Seni Rupa DKJ periode 1969-1977. Salah satunya adalah audio diskusi 28 Agustus 1969 di Lembaga Indonesia Amerika Jakarta, yang memuat pernyataan Oesman Effendi yang jadi pemicu perdebatan panjang dalam wacana seni lukis Indonesia. Pengunjung dibawa ke dalam pengalaman audio yang menghadirkan suara “orang-orang besar” dalam sejarah perkembangan seni rupa Indonesia. Dalam pengantar kuratorialnya Hafiz menyebutkan bahwa suara-suara ini adalah suara-suara identitas, suara-suara nasionalisme dan suara-suara modernisme seni lukis Indonesia.

Dengan melihat kembali lukisan dengan berbagai warna dan keragamannya, Anda mungkin dapat memberi jawaban terhadap pertanyaan “apakah benar seni lukis Indonesia tidak ada?” (Ananda Adityasanti/dkj)