Dunia seni Indonesia – khususnya dunia sastra – sedang berduka setelah ditinggal salah satu sastrawan yang berasal dari Tapanuli Utara, Sumatera Utara, Sitor Situmorang yang wafat pada hari Minggu  21 Desember 2014, di Belanda.

Perkenalan Sitor dengan dunia sastra bermula ketika berkunjung ke rumah abangnya. Pada saat itu, Sitor masing duduk di bangku kelas dua SMP dan menemukan buku Max Havelaar karya Multatuli. Buku tersebut langsung dibacanya hingga habis dalam kurun waktu 2-3 hari walaupun pada saat itu Sitor belum mahir membaca bahasa Belanda. Sejak itu minatnya akan dunia sastra semakin tumbuh dan mulai bercita-cita menjadi seorang pengarang.

Ketika beranjak dewasa, Sitor pun memulai kariernya yang tidak jauh dari dunia tulis menulis. Pada tahun 1945-1946, Sitor tercatat sebagai seorang wartawan di Harian Suara Nasional di Tarutung, kemudian dilanjutkan di Harian Waspada setahun kemudian. Pada tahun 1947 hingga 1948 Sitor juga menjadi seorang koresponden di Yogyakarta. Selain menjadi wartawan, beberapa pekerjaan yang pernah dijalaninya adalah pegawai Jawatan Kebudayaan Departemen P & K, dosen Akademi Teater Nasional Indonesia (Jakarta), anggota Dewan Nasional (1958), anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) mewakili kalangan seniman, anggota Badan Pertimbangan Ilmu Pengetahuan (1961-1962), dan Ketua Lembaga Kebudayaan Nasional (1959-1965).

Kepiawaiannya dalam menciptakan sebuah karya sastra selalu menarik. Beberapa karya sastra yang telah diterbitkannya adalah Surat Kertas Hijau (1953), Dalam Sajak (1955), Wajah Tak Bernama (1955), Drama Jalan Mutiara (1954) dan yang paling fenomenal adalah karya esai Sastra Revolusioner (1965) yang mengantarkannya masuk ke dalam penjara pada era Orde Baru. Sitor mendapatkan cap tahanan politik pada saat itu dan harus mendekam di penjara Gang Tengah Salemba pada tahun 1967 hingga tahun 1975 tanpa melalui proses peradilan dengan tuduhan terlibat pemberontakan. Keberadaannya di dalam penjara mendapat pengawasan yang sangat ketat, bahkan para penjenguknya tidak diizinkan memberikan pulpen atau pun kertas, namun tetap saja jiwa menulis Sitor mampu mengeluarkan sebuah karya yaitu Dinding Waktu (1976) dan Peta Perjalanan (1977).

Banyaknya pengalaman yang telah dirasakan sitor Situmorang akhirnya ditutup dengan berita duka cita menjelang akhir tahun 2014. Sang sastrawan angkatan ‘45 ini meninggal di Belanda pada usia 91 tahun. Selamat jalan Sitor Situmorang….