Menandai 40 tahun berkiprah di dunia teater Indonesia, Teater Mandiri didukung oleh Dewan Kesenian Jakarta dan Pusat Kesenian Jakarta, Taman ismail Marzuki akan menggelar serangkaian program berupa; workshop, diskusi dan pementasan lakon “Aduh” di Graha Bhakti Budaya pada 14 – 16 Juli mendatang. “Aduh” sendiri merupakan lakon pertama yang dipentaskan oleh Teater Mandiri pada 38 tahun silam dan merupakan naskah yang menjuarai sayembara penulisan lakon Dewan Kesenian Jakarta pada 1973.

Dalam rangka itu pula, Putu Wijaya, sang pendiri, membuka diri untuk lebih dekat dengan publik yang selama ini menjadi saksi karya mereka. Memanfaatkan jejaring sosial (Facebook dan Twitter), Putu Wijaya menjawab berbagai pertanyaan yang diajukan publik kepada dirinya, maupun Teater Mandiri.

Pada era 80an, masyarakat bisa menikmati film-film karya Anda. Kapan hal tersebut bisa terulang lagi setelah ini. Apakah Anda memiliki rencana membuat film seperti dulu lagi? Selain tentu saja memproduksi teater yang kemungkinan kecil bisa kami nikmati karena kami tinggal di daerah?(Wahyu Dewanto)

Saya masuk ke film tahun1989 membuat “Cas Cis Cus”. Kemudian saya membuat “Zig Zag”dan “Plong”. Sesudah itu dunia film indonesia hancur, saya membuat sinetron. Sekarang film indonesia marak lagi, saya baru mulai bangkit ikut main dalam film “Serdadu Kumbang”lalu membuat duabuah FTV: “Tak Cukup Sedih”dan “Leila”. Saya sedang berusaha mencari produser agar saya bisa membuat film. Bukan tidak kepingin,dari dulu mau bikin film tapi gagal karenabeberapa kendala.

Pembaharuan apa yang telah diciptakan oleh Teater Mandiri, sehingga ia dapat dianggap membawa pembaharuan di dunia teater tanah air? (Fransiscus Unggul)

Datanglah dalam sarasehan yang besok pukul 4 sore diadakan dengan nara sumber Afrizal Malna, Halim HDdan Benjon(Benny Johannes).

Selamat! Lantas, (semoga masih ada) Apa cita-cita dan semangat Teater Mandiri di usianya yang ke-40 ini?(Tri Suci)

Meneruskan membuat teater teror mental sementara teater mulai cenderung hanya menjadi hiburan dengan teknologi tinggi biaya tinggi dan mahal.

Selamat, semoga Teater Mandiri dapat terus eksis! Tapi apa sebetulnya yang membuat lakon “ADUH” itu dianggap sebagaimilestonedalam teater tanah air?(D. Martanto)

Setelah”Kapai-Kapai”yg ditulis Arifin, GM (Goenawan Mohamad) merasa belum ada lakon Indonesia yg menonjol, sampai”Aduh”memenangkan sayembara penulisan lakon (diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta) pada 1973.Baca penjelasan ketua juri GM sendiri di perpustakaan DKJ arsipnya.

Setahu saya seluruh naskah Teater Mandiri ditulis dan disutradarai oleh Putu Wijaya. Bukankah ini dapat dinilai sebagai kemandekan Teater Mandiri itu sendiri? Artinya ia tidak membuka peluang bagi semangat-semangat muda dengan ide-ide baru yang lebih segar dalam perjalanan Teater Mandiri?Sedangkan TM dikenal sebagai teater yang membawa pembaharuan.(Sitok)

Teater Mandiri pernah mementaskan karya “Kuo Pau Koon”dari Singapura di Tkyo pada tahun2000 dan “Krapp Last Tape”karya Beckett pada peringatan 100 tahun penulisnya. Ada alasan kenapa saya mementaskan naskah sendiri. Supaya bebas berkreasi. Kedua dengan pementasan sekaligus juga akan ada naskah baru untuk memperkaya tabungan naskah Indonesia yang masih sedikit.

Saya selalu mengikuti perjalanan Teater Mandiri dari tahun ke tahun, dan saya tahu bahwa bagi Teater Mandiri yang penting bukan apa yang terjadi di panggung, tetapi apa yang kemudian terjadi di dalam sanubari penonton.Tapi yang tidak saya ketahui adalah apa benang merah pesan dan rasa yang ingin disampaikan oleh Teater Mandiri dari seluruh produksi yang telah Teater Mandiri ciptakan selama 40 tahun ini?(Sri Endang Purnama)

Ada 2: kami selalu bekerja atas dasar: bertolak dari yang ada, sehingga tak ada halangan/kondisi apa pun yg bisa menjegalkami, kedua: target kami teror mental, mengganggu penonton untuk bangkit dan mempertanyakan sekali lagi apa yg sudah diterimanya/disimpulkannya. Teror mental ini juga tak jarang mengenai kami sendiri. Misalnya,duahari sebelum pertunjukan “DOR”di TIM (Taman Ismail Marzuki), art director kami minta set dibalikkan, pemain utama membelakangi penonton dalamseluruh permainan. Saya mula-mula menolak, tapi kemudian saya lawan kemauan saya dan mencoba, ternyata memang hasilnya lebih bagus. Pada 1974, setelah mengadakan lokakarya dengan 100 peserta di Goethe Institut, saya bawa semua peserta workshop ikut main dalam “ZERO”. Semua pemaian terteror, tapi pertunjukan berlangsung riuh tapi ketat dan terkendali.