Oleh: I Made Susanta Dwitanaya

Memasuki hari ke 4, Lokakarya Kritik Seni Rupa dan Kurator Muda Indonesia, menampilkan sejarawan Hilmar Farid sebagai pemateri. Hilmar Farid atau yang akrab disapa Fay, berbicara tentang kajian budaya visual di tengah arus percepatan informasi dalam konteks hari ini. Dengan gaya bahasa yang lugas Fay mengawali materinya dengan memaparkan ikhwal kondisi kita hari ini di tengah kepungan aneka rupa visual yang berkelindan di keseharian kita lewat mekanisme virtual. Ia menyebutkan bahwa aneka rupa image atau visual yang berseliweran setiap saat di hadapan kita adalah realitas keseharian kita. ”Itulah bagian dari keseharian kita hari ini, silakan kita pikirkan sendiri, berapa banyak waktu dalam sehari  yang kita habiskan di depan yang beginian” (sembari menunjuk gagdet), ungkap Fay. Pernyataan Fay tersebut menyiratkan betapa persuasi visual telah merasuk ke ruang – ruang personal kita dengan sangat masif, lewat media sosial maupun berbagai bentuk virtualisasi yang tengah kita rayakan hari ini. Lebih jauh Fay juga mencoba memaparkan bahwa tak hanya ruang privat kita saja yang tengah dikepung oleh visual, ruang publik juga telah menjadi panggung perayaan dari aneka rupa visual mulai dari billboard iklan, baliho, dan lain sebagainya. Pendek kata, tak berlebihan rasanya jika abad ini dijuluki sebagai abad visual.

Pembacaan terhadap budaya visual dalam konteks budaya hari ini (kontemporer) semakin tidak memungkinkan lagi untuk tersekat–sekat dalam batas–batas genre, maupun kategorisasi-kategorisasi medium, semisal seni lukis. Hal ini terjadi karena sirkulasi dari pelintas batasan genre tersebut semakin masif terjadi. Fay memberikan contoh ketika image dalam film kemudian bisa muncul juga dalam karya fotografi, atau bisa juga dipinjam oleh para seniman pop artis maupun para desainer grafis dalam karya – karya mereka. Cairnya sekat – sekat katagorisasi genre dan medium seni visual ini membuat kesibukan atau kesuntukkan dalam mencoba merumuskan katagorisasi–katagorisasi dalam seni rupa menjadi tidak lagi penting dan relevan. Bagi Fay yang terpenting justru adalah membaca apa yang hendak disampaikan oleh sebuah karya seni rupa atau budaya visual tersebut, sembari membaca transformasi medium yang semakin kentara dalam era  kontemporer saat ini.

Dalam konteks penulisan kritik seni rupa hari ini, menurut  amatan Fay, tulisan-tulisan tentang seni rupa semakin jauh dari karya itu sendiri. Sebab, tak jarang sebuah tulisan kritik langsung melompat pada makna bahkan melakukan tafsir terhadap makna itu. Fay menganjurkan agar sebuah tulisan tentang seni rupa sangat penting untuk membedah atau mendeskripsikan struktur visual yang membentuk karya tersebut. Setelah itu barulah mencoba menarik atau menggali makna dari sebuah karya yang hadir. Selain persoalan struktur bentuk dan makna, yang juga menarik untuk dipersoalkan adalah persoalan mekanisme produksi dan distribusi sebuah karya seni visual di tengah percepatan arus informasi saat ini. Fay memberikan contoh betapa arus percepatan distribusi sebuah image atau citra termediasi dalam berbagai bentuk image – mulai dari yang penting ataupun tidak penting sama sekali – membuat kita harus merumuskan kembali arti sebuah kata “penting”. Hal ini kemudian akan berpengaruh pada persoalan yang ketiga yaitu persoalan media visual seperti apa yang kini bisa dikatagorisasikan sebagai media yang dominan. Hal ini juga akan berpengaruh pada pola–pola produksi para produsen image atau citra atau bahkan karya visual  untuk merespon hal ini. Itulah ketiga point yang ditekankan Fay terkait dengan kajian budaya visual di tengah arus percepatan dewasa ini.

Fay juga menekankan tentang pentingnya memahami berbagai macam bentuk kekayaan “gramatika” dalam sebuah karya visual. Kekayaan gramatika sebuah karya yang dapat dilihat dari transformasi dalam lintasan sejarah seni rupa hingga saat ini. Ada simbol, ada makna, dan lain sebagainya, yang mungkin akan masih terus berlaku hingga saat ini namun secara medium dan bentuk akan terus berubah dan bertransformasi. Sehingga, pemahaman akan pergerakan atau arus transformasi ini juga dapat memperkaya dan mempertajam penulisan maupun kuratorial sebuah karya seni visual tentunya dengan bekal atau bagasi teoritik yang proporsional semisal semiotik, sejarah seni rupa, filsafat dan lain sebagainya.

Yang terakhir, dalam penyampaian materinya, Fay menekankan bahwa, kajian budaya visual kontemporer melintasi atau mencairkan batasan – batasan antara seni tinggi ( high art / fine art) dengan seni rendah (low art/craft). Sehingga dapat pula dikatakan bahwa kajian budaya visual kontemporer adalah reaksi dari art history atau sejarah seni rupa (seni rupa barat) sebab kategorisasi ataupun hirarki antara high art dan low art tersebut adalah sebentuk kontruksi yang muncul dalam sejarah seni rupa barat, terutama sejarah seni rupa modern. Dan di akhir materinya, Fay sekali lagi menekankan bahwa dalam mengkaji budaya visual maupun karya seni rupa, pembedahan terhadap struktur visual dan medium penting untuk dilakukan. Untuk kemudian barulah bergerak pada pembacaan makna, atau yang diistilahkan olehnya, “memeras visual hingga mendapatkan minyaknya”.

Dokumentasi: DKJ – Eva Tobing