Ini perjalanan pertama saya ke Jepang. Musim dingin sebentar lagi akan berakhir. Apa bedanya musim dingin di Eropa dan di Asia? Pertanyaan ini hanya sebuah lintasan untuk pertanyaan lain: kalau di Asia juga punya musim dingin, tidak hanya tropis, kenapa kita masih bicara Barat dan Timur? Setiap musim melahirkan mata rantai yang khas dengan peradaban dan kebudayaan. Lintasan-lintasan seperti ini saya biarkan hidup dalam pikiran saya, sama dengan melintasnya beberapa gerakan seni modern Jepang yang sempat saya kenal: Guthai, Butoh, Monoha, maupun puisi Haiku. Butoh adalah juga sebuah inspirasi, ketika saya masih menulis teks-teks pertunjukan untuk Teater Sae pada tahun 90-an. Teks yang saya tulis untuk hadir sebagai “teks-yang-cacat”, tetapi canggih untuk “membingungkan” skema-skema kesadaran kita.

Sampai di Narita, bandara Tokyo, hari sudah jam 5 sore. Bentuk-bentuk alfabet dari huruf Kanji Jepang mulai menarik perhatian saya. Huruf dengan garis-garis arsitektural yang puitis. Setiap huruf hadir seperti sebuah ikon atau bahkan sebagai sebuah logo. Faktor bahasa sering membuat saya cemas setiap melakukan perjalanan keluar. Tetapi juga selalu menarik perhatian, terutama untuk merasakan hidup “di luar bahasa”. Memisahkan apa yang saya amati dengan apa yang saya pikirkan. Menggunakan tubuh untuk menerima dan mengamati setiap kehadiran di luar bahasa. Untuk urusan-urusan praktis, dunia makna yang harus diikuti, saya akan banyak dibantu Sartika Dian Nuraini yang bisa berbahasa Inggris dan Jerman, belum bahasa Jepang.

Perjalanan ke Yokohama menggunakan kereta, detik demi detik, tumbuh dan berlalu bersama datang dan perginya para pekerja Tokyo yang baru saja pulang kerja dalam di setiap setasiun perhentian kereta. Rata-rata mereka berpakaian baik dengan fashion masa kini, khas masyarakat pasca ekonomi. Mereka cenderung menghindari terjadinya pertemuan tatapan mata, atau memiliki sikap etik untuk tidak saling memandang. Di luar kereta, udara bertambah dingin bersama hujan gerimis yang tipis.

Kami sampai di Yokohama jam 7 malam. Melintasi gerimis, mencari taxi di luar setasiun. Berada dalam taxi, saya seperti masuk ke dalam dunia film-film klasik. Interior taxi dibuat manis, romantis, seperti dalam rumah, dengan jok mobil terbungkus kain berenda, sopir taxi menggunakan busana rapi dan topi khas mirip nakhoda kapal. Perjalanan menuju Hostel Zen dan lampu-lampu kota mulai menyala. Hostel Zen terletak di Matsukage-cho, Yokohama City, Prefektur Kanagawa 3-chome, 10-5.

Matsukage-cho
Saya sangat menyukai nama tempat kami menginap: Hostel Zen (ホテルの禅). Untuk saya, Jepang dan Zen merupakan dua istilah yang selalu bertemu dalam ruang mistis antara seni, sastra, filsafat sebagai pencarian dalam ruang vertikal. Mishima dengan novelnya yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Kuil Kencana, merupakan bacaan masa remaja saya yang membuat saya mulai berkenalan dengan ruang vertikal yang khas Zen ini. Dalam sebuah symposium TPAM (BankArt, Yokohama, 11 Februari 2017) mengenai pengaruh Butoh di Korea Selatan, terutama Tatsumi Hijikata (pembicara Pijin Neji, Rody Shimazaki, Seo Dong-jin), sempat menyinggung pengaruh Mishima pada Tatsumi Hijikata. Saya menikmati symposium ini, karena bisa mendengar pembicaraan dalam bahasa Korea, Jepang dan Inggris sebagai suara maupun bunyi.

Baca laporan lengkap Afrizal Malna dari Tokyo Performing Arts Meeting, Yokohama 2017 di sini.