Pembangunan TIM Baru memasuki tahap pembongkaran fisik bangunan di area TIM. Karena komunikasi publik dari pihak Pemprov DKI dan Jakpro mengenai rancangan dan skema pengelolaan TIM Baru kurang optimal, persepsi publik pun lebih condong pada aspek-aspek emosional melihat bangunan yang menyimpan banyak kenangan dan sejarah kolektif itu dibongkar. Suasana emosional ini rentan terhadap masuknya oportunisme politik, maupun misinformasi seputar pembangunan TIM Baru.

Pada dasarnya, DKJ mendukung ekspresi dan perhatian semua kelompok warga, termasuk kelompok-kelompok seniman yang dengan keras menolak pembangunan TIM Baru oleh Jakpro. Pada saat yang sama, DKJ juga telah melangkah, melakukan advokasi secara aktif sesuai kapasitas kami, mengenai Revitalisasi TIM sejak 2018. DKJ melakukan advokasi ke berbagai pihak, khususnya Pemprov DKI dan Gubernur DKI, dalam berbagai keterbatasan kami. DKJ memandang situasi dengan tensi tinggi saat ini perlu dikembangkan menjadi diskusi publik yang sehat tentang masa depan TIM. Kami percaya, syarat bagi diskusi yang sehat adalah lengkapnya perspektif di ranah publik.

Dalam konteks itulah, DKJ merasa perlu lebih aktif menyampaikan kepada publik pandangan-pandangan kami tentang proses pembangunan TIM Baru, berpijak pada sebuah paradigma tentang pembangunan ekosistem kesenian di Jakarta yang memiliki visi membangun Jakarta sebagai Kota Seni (bertaraf) Internasional. Paradigma tersebut kami coba wujudkan dalam program-program DKJ yang mencakup penciptaan berbagai platform berkesenian di Jakarta dan advokasi berbagai aspek pembangunan Ekosistem Seni Jakarta.

DKJ juga berpijak pada penyusunan hindsight (pandangan tentang masa lalu), insight (pandangan tentang masa kini), dan foresight (pandangan tentang masa depan yang diharapkan) tentang seni, kesenian, dan ekosistem seni di Jakarta, bahkan Indonesia. Pijakan hindsight, insight, dan foresight ini juga kami terapkan ke dalam permasalahan pembangunan TIM Baru yang saat ini sedang berada di fase rawan, yakni fase pembongkaran.

TIM sebagai Tangible Asset dan Intangible Asset

Sejauh terpantau oleh DKJ, perspektif utuh tentang TIM sebagai asset kesenian DKI seringkali luput dari pembicaraan publik tentang pembongkaran TIM saat ini. Perspektif utuh tersebut, secara sederhana, terdiri dari dua segi asset: segi tangible asset dan segi intangible asset.

TIM sebagai intangible asset adalah sebuah lahan dan sekumpulan bangunan yang memiliki sejarah, reputasi, narasi ruang-ruang seni di dalamnya seperti Teater Arena, Galeri Cipta II & III, Kineforum, Graha Bhakti Budaya, dari masa ke masa. Aspek diskursif dan ideal atas ruang-ruang seni di area TIM dibangun dari sejarah yang bisa dirunut hingga masa kolonial, ketika area ini adalah bagian dari halaman rumah pelukis modern pertama kita, Raden Saleh. Tentu saja, periode utama narasi sejarah TIM adalah tonggak-tonggak peristiwa seni modern Indonesia pada 1970-an hingga 1980-an. Tapi, pertanyaan perlu diajukan: apakah hindsight TIM ini telah lengkap dalam wacana publik tersebut?

Seringkali, konstruksi yang popular adalah bahwa TIM dahulu jadi wahana puncak-puncak seni modern selama 1970-an dan 1980-an. Dalam konstruksi hindsight popular tentang TIM demikian, periode 1990-an dan 2000-an dianggap sebagai penurunan kuantitas dan kualitas peristiwa kesenian di TIM. Retorika tentang marwah TIM seringkali hanya mengacu pada apa yang terjadi di masa lalu. Sebagai pengampu program seni di TIM, DKJ memandang bahwa dinamika kesenian di dalam infrastruktur seni TIM masih terjadi, dan masih berlanjut.

Sebagai dinamika, tentu saja ada naik dan turun kuantitas-kualitas peristiwa kesenian di TIM hingga 2019. Tapi, dinamika kesenian tersebut lebih banyak menyentuh struktur demografi pelaku dan publik seni terkini di Jakarta. Dinamika kesenian di TIM sesudah era Reformasi adalah dinamika yang menyentuh generasi Y dan Z pelaku dan publik seni di Jakarta (dan Indonesia), yang memiliki langgam bahasa kesenian yang berbeda dari para senior mereka yang dulu sering mengisi ruang-ruang seni di TIM.

Di sini, DKJ menawarkan sebuah insight tentang TIM. Insight tersebut bisa dibuktikan antara lain dalam paparan tentang program-program DKJ selama 2019 pada acara press conference DKJ, Rabu, 18 Februari 2020 di Teater Jakarta. Secara garis besar, sepanjang 2019 DKJ via Komite Teater, Komite Tari, Komite Sastra, Komite Musik, Komite Seni Rupa, dan Komite Film telah mengampu 44 program bertaraf lokal, nasional, maupun internasional, yang terdiri dari 200 lebih mata acara.

Termasuk di dalamnya adalah platform seperti Festival Teater Jakarta, Jakarta International Literary Festival, Jakarta Dance Meets Up, penerbitan dan diskusi seri Wacana Sinema dan Wacana Seni Rupa, dsb. Jakarta City Philharmonic, telah secara berturutan setiap bulan selama tujuh bulan melaksanakan pagelaran di gedung Teater Besar berkapasitas 1200 pengunjung yang selalu penuh. Semua itu menunjukkan bahwa DKJ adalah lembaga yang bisa, mampu, dan senyatanya mewakili kepentingan dan aspirasi para seniman di Jakarta yang masih aktif mencipta dan menjumpai publik mereka hingga kini.

Dalam konteks insight TIM yang aktif dan masih dinamis demikian, DKJ menyadari pentingnya membicarakan aspek TIM sebagai tangible asset kesenian DKI. Aspek tangible asset ini mencakup TIM sebagai sebuah infrastruktur fisik bagi kesenian di Jakarta, sebagai lahan, sekumpulan bangunan, dan rupa-rupa prasarana kesenian di dalamnya. Salah satu hal yang patut ditimbang, terpetik dari relasi DKJ dengan para seniman yang menggunakan sarana dan prasarana di TIM selama masa kerja kami, adanya kebutuhan meningkatkan kualitas infrastuktur kesenian di TIM.

Akustik dan fasilitas tempat duduk serta kualitas panggung di Graha Bhakti Budaya, misalnya, sudah tak memadai untuk kebutuhan para pelaku seni yang terus berkembang hingga kini. Ruang pameran di Galeri II & III tak lagi mampu menampung perkembangan seni kontemporer yang tak lagi hanya terpaku pada lukisan di atas kanvas atau patung pahatan di atas batu dan kayu, tapi sudah sejak lama merambah ke wilayah teknologi dalam karya-karya instalasi. Ruang-ruang seni di TIM yang juga berfungsi sebagai laboratorium seni para mahasiswa seni IKJ masih terasa kurang optimal digunakan, karena berbagai keterbatasan infrastruktur warisan periode Orba yang tampak lamban mengikuti gerak-gerik zaman.

Salah satu aspek yang jarang diangkat ke publik adalah permasalahan arsip seni DKJ (dan arsip sastra di PDS HB Jassin), yakni ketiadaan penyimpanan serta preservasi koleksi lukisan tonggak seni modern Asia Tenggara milik DKJ dan Unit Pelaksana Taman Ismail Marzuki. Belum ada ruang penyimpanan dan preservasi yang layak bagi arsip dan koleksi mahapenting itu. Dari segi kebutuhan adanya infrastruktur lebih baik bagi kegiatan penciptaan, ekspresi, eksperimentasi, komunikasi, dan apresiasi seni masa kini dan masa depan.

Kebutuhan itulah yang membuat DKJ berada dalam posisi menerima/terbuka terhadap upaya memperbaharui tangible asset kesenian Jakarta bernama TIM ini. DKJ tidak ingin berhenti pada pembacaan intangible asset dalam persoalan TIM ini. Kami ingin mentransformasikan pembacaan intangible asset TIM menjadi sebuah foresight membangun ekosistem seni di Jakarta yang lebih baik. Kami tidak ingin menyembah bangunan fisik, tapi lebih ingin adanya peningkatan mutu infrastruktur kesenian di TIM agar mampu menjawab kebutuhan nyata para seniman dan publik seni kontemporer di Jakarta di masa kini dan masa depan.

Masalah terbesar kami dalam soal ini adalah: bagaimana mengawal pembaharuan infrastruktur kesenian TIM agar tetap memenuhi visi dan kebutuhan para seniman dan bagaimana pengelolaan TIM Baru itu tetap untuk sebesar-sebesarnya kemaslahatan proses penciptaan seniman di Jakarta.

Masalah pengelolaan dan pembiayaan TIM Baru

DKJ memahami persoalan relasi Pemprov DKI dan Jakpro sebagai BUMD yang ditugaskan menangani pembangunan TIM Baru ini. Persoalan hulu dari relasi ini adalah mencakup dua aspek pelik: Pergub no. 63/2019 dan politik anggaran APBD DKI.

Dalam politik anggaran APBD DKI, pembangungan TIM Baru harus menghadapi pilihan sumber pendanaan. Dengan biaya yang diperhitungkan bisa mencapai Rp. 1,7 Trilyun, dari manakah sumber pendanaan yang ideal? Pilihannya ada dua: pendanaan dari APBD, atau sepenuhnya swasta. Risiko pendanaan TIM Baru oleh pihak swasta tentu saja adalah komersialisasi total ruang seni dan ruang publik di TIM. DKJ tidak mendukung pilihan tersebut, karena bertentangan dengan visi pendirian Pusat Kesenian Jakarta di TIM oleh gubernur Ali Sadikin pada 1968.

Ada pun skema pendanaan dari APBD harus memilih satu di antara dua jalur: skema Pembiayaan Daerah atau skema Belanja Daerah.

Mekanisme Pembiayaan Daerah adalah dengan PMD (Penyertaan Modal Daerah) dalam bentuk penugasan kepada BUMD. Dalam skema ini, modal disediakan oleh APBD untuk dikelola secara profesional, dengan pendekatan bisnis, dengan keuntungan yang nantinya dibagi jadi Return of Invesment (RoI) biaya pembangunan, dan juga dikembalikan menjadi keuntungan daerah. Dalam komunikasi antara DKJ dan Jakpro, terlontar sebuah mekanisme pembagian hasil yang juga akan diberikan pada pembiayaan kegiatan kesenian di TIM. Namun, belum ada rincian yang jelas mengenai bagaimana mekanisme itu diterapkan, dan apakah akan melibatkan pihak yang mewakili (kepentingan) para seniman.

Mekanisme Belanja Daerah adalah mekanisme SKPD, yakni dana dikeluarkan dari APBD untuk OPD (Organisasi Perangkat Daerah) yang termasuk dalam struktur pemerintahan, seperti Dinas cipta Karya, Dinas Parekraf, dan Dinas Kebudayaan. Selama ini, mekanisme ini mencakup pendanaan program kesenian di Jakarta. Pendanaan sebesar Rp. 1,7 trilyun untuk pembangunan fisik melalui mekanisme ini rupanya dipandang mengandung risiko apresiasi/depresiasi nilai uang, di samping risiko-risiko penyelewengan atau korupsi.

Pergub no. 63/2019 menetapkan mekanisme Pembiayaan Daerah untuk membangun TIM Baru. Ditetapkan pula penugasan kepada Jakpro untuk membangun TIM Baru dengan target peresmian pada November 2021. Yang patut dicermati menurut DKJ dalam soal ini adalah pasal-pasal mengenai pengelolaan dan Kerja Sama Operasi (KSO) dalam pembangunan TIM Baru ini. Dalam Pergub tersebut, skema KSO yang dipilih adalah skema Build-Operate-Transfer (B-O-T), dan bukan skema Build-Transfer-Operate (B-T-O).

Skema B-O-T, yakni skema yang beralur (1) membangun infrastruktur fisik TIM, (2) mengoperasikan TIM Baru yang telah dibangun dalam jangka waktu tertentu hingga RoI pembangunan TIM tercapai, (3) menyerahkan infrastruktur itu kembali kepada Pemprov DKI. Skema inilah yang memunculkan sebuah perhitungan bahwa pengoperasian TIM Baru selama 28 tahun adalah kepada Jakpro. Di sinilah pencermatan dan tuntutan atas kepentingan seniman agar jangan dikorbankan menjadi sesuatu yang penting.

DKJ memandang bahwa struktur kesepakatan KSO dalam Pergub no. 63/2019 ini perlu dipandang kritis dan dikawal agar jadi sebesar-besarnya kepentingan seniman di Jakarta dan Indonesia. Namun, pandangan kritis itu perlu sebuah pemahaman tafsir hukum yang tepat atas struktur kesepakatan antara Pemprov DKI dengan Jakpro, termasuk ketentuan peraturan perundang-undangan yang terkait. DKJ dalam hal ini berkonsultasi dengan pihak-pihak ahli hukum (pengacara, aktivis hukum, dsb.).

Dalam konteks itu, DKJ meminta agar dalam struktur kesepakatan KSO itu, unsur perwakilan seniman sebagai pemangku kepentingan TIM harus ada dalam KSO: yakni:

(1) berada dalam badan pelaksana KSO, dan

(2) berada dalam badan pengawas KSO.

DKJ tegas menuntut bahwa unsur perwakilan seniman sebagai pemangku kepentingan di TIM memiliki voting rights dalam pengambilan keputusan apa pun sehubungan dengan pengelolaan TIM Baru.

TIM Baru dan Sebuah Masa Depan Ekosistem Seni di Jakarta

Semua permasalahan pembangunan TIM Baru ini tak bisa dilepaskan dari peluang-peluang terbentuknya ekosistem seni Jakarta yang lebih baik di masa depan. DKJ tidak ingin secara keliru kaprah hanya berkutat pada hindsight TIM sebagai Pusat Kesenian dalam pemahaman seni modern yang secara filosofis maupun secara konkret membentuk sebuah ilusi bahwa pusat kesenian sama dengan puncak kesenian di Jakarta/Indonesia.

Kenyataannya adalah, selama periode pasca-Reformasi, khususnya selama periode 2000-an, TIM harus hidup dalam sebuah dinamika kesenian yang tidak lagi tergantung pada lokasi fisik TIM di area Cikini, Jakarta. Para pelaku seni generasi baru tidak punya ketergantungan seperti para senior mereka semasa Orba untuk berkesenian hanya di TIM. Pusat-pusat kesenian baru muncul, bahkan hanya di Jakarta saja sudah banyak sekali sebarannya di masa kini. Saat ini, bahkan kafe-kafe pun telah jadi lokasi kultural amat penting dalam dinamika berkesenian di Jakarta.

Dalam konteks demikian, DKJ memandang perlu adanya redefinisi “Pusat Kesenian Jakarta” di TIM. Kata Pusat di sini, dalam penafsiran mutakhirnya, lebih berarti sebuah sentra kesenian yang lebih condong pada pemaknaan: sebuah wilayah konsentrasi ruang-ruang kesenian untuk mengoptimalkan kapasitas warga untuk berkegiatan seni. Dalam pemahaman ini, TIM sebagai pusat kesenian (sentra seni) Jakarta mengemban  fungsi menjadi ruang-ruang strategis warga untuk melakukan penciptaan, eksperimentasi, ekspresi, komunikasi, dan apresiasi seni dan budaya.

Dalam kerangka pemahaman itulah, DKJ memandang perlu sebuah strategi keberlanjutan (sustainability) yang tidak bergantung pada mekanisme subsidi belaka. Sebuah skema ekonomi kreatif di ruang-ruang seni TIM Baru bisa dilaksanakan, dengan tetap mengacu pada penjagaan integritas kesenian itu sendiri. Skema itulah yang kami advokasikan dalam pengelolaan TIM Baru. Skema yang kami pandang harus bekerja dalam konteks bahwa TIM akan bekerja dan beroperasi sebagai bagian dari ekosistem seni lebih luas di Jakarta dan Indonesia.

 

Narahubung:

Fransiskus Sena

081287074748

humas@dkj.or.id

[/fusion_separator]
[/fusion_separator]